26.4 C
Indonesia
Senin, Juli 8, 2024
spot_img

102 Tahun Taman Siswa

Oleh: Wahjudi Djaja*

Saat dunia pendidikan nasional kita memperoleh sorotan tajam oleh masyarakat dan pakar pendidikan, ingatan melayang ke 102 tahun silam. Seorang bangsawan nasionalis dengan visi kerakyatan menginisiasi Perguruan Kebangsaan Taman Siswa pada 3 Juli 1922.

Keluar masuk penjara dan pengasingan karena memperjuangkan kehidupan rakyat, membawa Ki Hajar Dewantara pada formula baru dalam menghadapi kolonialisme. Bahwa pendidikan adalah kata kunci penting untuk memperjuangkan kemerdekaan sekaligus memberdayakan rakyat agar mandiri.

Mengambil hakikat perguruan (Djoko Marihandono, 2017) menempatkan falsafah Jawa terkait bagaimana mempersiapkan generasi penerus bangsa yang cerdas dan mandiri. Perguruan sengaja diangkat Ki Hajar Dewantara untuk memperluas model paguron. Dalam khazanah Jawa istilah ini telah lama dikenal seperti juga pawiyatan dan padepokan.

Orang yang belajar disebut meguru sedangkan yang mendidik dan memberi pelajaran disebut guru. Posisi guru sangat sentral, lebih dari urusan pedagogis. Perannya dalam tumbuh kembang jiwa dan kepribadian anak sangat mendasar. Dia adalah model terbaik bagi siswa karena ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Lebih dari sebuah falsafah pendidikan, ketiga prinsip itu melandasi laku sejarah dan perjuangan segenap eksponen Taman Siswa.

Kehadiran dan peran Taman Siswa bagi pergerakan nasional dan pembentukan karakter bangsa ini tak perlu diragukan. Tak kurang Presiden Sukarno (1952) menulis bahwa tiap-tiap manusia ingin belajar dan ingin maju. Yang membelenggu keinginan ini ialah kemiskinan dan kezaliman. Untuk itu, kata Bung Hatta (1952), masyarakat Indonesia butuh pemimpin dan pekerja yang mempunyai rasa tanggung jawab dan bersedia berkorban. Self help dilakukan dalam praktik oleh Taman Siswa dengan memakai zelfbeduipingsystem, hidup dari pendapatan sendiri yang sederhana.

Karakter Taman Siswa adalah menempatkan sekolah sebagai keluarga, hubungan siswa dan guru (pamong) seperti anak dan bapak ibu dengan titik berat pengajaran dan pendidikan pada kebudayaan nasional.

Jika dua pendiri bangsa telah memberikan testimoni atas kepak juang Taman Siswa, konsekuensi logisnya adalah ke sanalah arah sistem pendidikan nasional kita. Prinsip dan falsafah pendidikan yang dikembangkan Taman Siswa mestinya menjiwai dan menjadi ruh pendidikan, bukan ke Barat atau kemana pun.

Ki Hajar Dewantara sejajar dengan Montessori atau Tagore dalam soal konsep pendidikan. Adalah ahistoris jika kemudian kita membebek pada sistem pendidikan asing. Muara pendidikan adalah terbentuknya karakter dan kepribadian bangsa sebagai fondasi nasionalisme.

Kita tentu tak ingin anak-anak generasi penerus bangsa menjadi maju tapi tercerabut dari akar budayanya. Gejala sosial psikologis yang akhir-akhir ini terjadi di kalangan remaja mestinya menjadi bahan evaluasi bersama untuk mengembalikan dan menghidupkan ruh pendidikan sesuai amanat Ki Hajar Dewantara.

Ksatran Sendaren, 3 Juli 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles