26.1 C
Indonesia
Sabtu, Mei 11, 2024
spot_img

Rizal Ramli, Econit dan Nurani yang Menjerit

Oleh: Wahjudi Djaja*

Awal tahun yang kelabu. Di saat kalangan intelektual dipertanyakan keberpihakan dan suaranya terkait rusaknya tata kelola kebangsaan dan kenegaraan, ekonom nasionalis yang tak pernah kendor menyuarakan amanat hati nurani rakyat, Rizal Ramli, pergi pada Selasa malam (2/1/2024). Kepergian yang tidak saja mencabik rasa kehilangan, tetapi juga membangunkan kesadaran akan keteladanan.

Pembelajar Sejati
Lahir pada 10 Desember 1954 Rizal Ramli (RR) mewarisi “tradisi Minang”. Kuat dalam menjalani perantauan intelektual, bernyali karena didukung data dan kebenaran, memahami semesta permasalahan dengan sempurna. Menjaga betul kualitas pemikiran sebagaimana diteladankan Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Tan Malaka, Mohammad Natsir, Hamka dan sederet pemikir bangsa asal Sumatra Barat, RR paham betul tanggung jawab moral-intelektual yang harus diemban untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa dan negara. Pribadi yang autentik tidak saja dalam pemikiran tetapi juga dalam sikap dan karya.

Kuliah di Jurusan Fisika ITB, RR justru dikenal sebagai seorang ekonom setelah lulus dari Universitas Boston tahun 1990. Lebih dari seorang mahasiswa, RR adalah aktivis dalam pengertian sebenarnya. Gerakan mahasiswa 1976-1977 yang mengkritisi Orde Baru–saat pada posisi terkuatnya–tak lepas dari gagasan kritisnya. Hal yang kemudian membawanya masuk penjara pada 1978. Soal menjaga bara idealisme dan daya kritisnya, bisa jadi RR hanya bisa disandingkan dengan Arief Budiman, seorang aktivis Angkatan 66 yang tak pernah padam komitmen dan dedikasinya pada kehidupan demokratis sampai akhir hayatnya.

Econit Penyuplai Data
Sepulang dari Amerika, RR mendirikan Econit Advisory Group pada 1993. Lembaga ini nampaknya benar-benar menjadi laboraturium pemikiran dan penelitian baginya. Ketekunan menjalani kerja penelitian, melahirkan data yang bisa dipertanggung jawabkan, lalu menyuarakannya dalam berbagai media, forum dan kesempatan, hingga menginisiasi sebuah gerakan. Tak banyak intelektual Indonesia yang mampu melakukannya, apalagi bidang penelitiannya beririsan langsung dengan jantung dan kue kekuasaan.

Dalam konteks itu, naiknya popularitas RR di kalangan intelektual dan dunia akademis beriringan dengan menguatnya pengaruh Amien Rais (AR). Publik di tanah air dibuat geger ketika AR pertama kali melontarkan perlunya membahas suksesi kepemimpinan nasional dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya pada 1993. Alasan yang disampaikan cukup rasional, Suharto sudah ke lima kalinya memimpin bangsa, sementara belum kelihatan bagaimana mekanisme suksesi kepemimpinan nasional bisa dijalankan secara bijak, smooth tanpa pertumpahan darah. AR kemudian mengintrodusir tujuh syarat pemimpin nasional. Dari kampus ke kampus AR berjualan ide dengan sambutan yang luar biasa dari kalangan intelektual dan akademisi.

Duet RR dan AR mewarnai panggung wacana politik ekonomi nasional era 90-an. Dalam beberapa hal, AR banyak terbantu dengan suplai data autentik dan orisinil yang dibuat Econit. Belakangan juga Indef dengan tokoh Didik J Rachbini. Dalam banyak kasus keduanya saling menopang dan menggerakkan kesadaran berbangsa akibat penyimpangan praktik bernegara. Mulai Busang sampai Freeport, dari Edy Tansil sampai beragam kasus KKN–istilah korupsi, kolusi, nepotisme ini menguat pada era 1990an antara lain karena gencarnya suara kedua tokoh–sampai soal Hak Pengusahaan Hutan dan penggundulan hutan yang merusak lingkungan. Econit menjadi referensi tersendiri bagaimana lembaga think tank memainkan peran intelektualnya. RR adalah Econit, Econit adalah RR.

Bernyali Berkata, Berani Berkarya
Tak sedikit aktivis yang meledak-ledak saat mahasiswa tetapi tak berkutik saat berada atau diminta masuk di lingkar kekuasaan. Karakter seseorang konon memang bisa dilihat saat dia dihadapkan pada uang dan kekuasaan. Bisa dicek sejumlah aktivis 1966, 1978, 1980-an, dan 1998 yang bersuara bagai singa keluar hutan tapi justru menentang demonstrasi adik-adiknya saat mereka di tampuk kekuasaan. Hal yang sama sekali tak ditemukan pada diri RR. Sejak jadi mahasiswa ITB sampai beberapa bulan sebelum wafat–2 Januari 2024–suara dan keberpihakan RR tak pernah surut apalagi hilang.

Berada di barisan depan gerakan reformasi 1998 dalam menumbangkan Orde Baru, RR diminta Presiden Gus Dur menjadi Kepala Bulog. Hanya butuh enam bulan bagi RR untuk merevolusi lembaga yang menjadi sarang tikus hingga gagal menopang pangan nasional. Duetnya dengan Kwik Kian Gie di pemerintahan Megawati juga melahirkan harapan baru. Program percepatan pemulihan perekonimian yang dia rencanakan relatif bisa membumi dan menjadi solusi. Presiden Jokowi memintanya menjadi Menko Maritim, posisi yang sempat dia ragukan. Hal yang kemudian tak lama dia sandang karena harus di-reshuffle.
Dalam dua posisi–sebagai aktivis dan pejabat pemerintahan–tak bisa dibedakan dari diri RR. Tetap kritis, lantang, berbasis data dan karenanya tak disukai beberapa kalangan yang merasa terganggu.

Nurani yang Selalu Menjerit
Seorang intelektual–mengutip Albert Camus–adalah orang yang menjaga pikirannya sendiri. Ia seorang yang cerdas, berakal, dan berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Atas nama kepentingan dan kekuasaan, banyak kaum intelektual yang menaruh idealismenya di comberan peradaban. Pragmatisme yang menjadi jalan hidup menanggalkan harkat, martabat dan kehormatannya sebagai seorang penjaga peradaban. Semakin ke sini, semakin sulit kita menemukan intelektual dengan kadar pemikiran yang terjaga, hal yang tak ditemukan pada diri RR.

Nuraninya selalu menjerit manakala melihat ketakadilan, eksploitasi manusia, dan penumpulan nalar akal sehat. Apalagi itu menyangkut kehidupan rakyat. Seolah urat nadinya sudah putus, RR segera bersuara dan membangun kesadaran bersama. Kita boleh mengolok-olok saat AR dan RR mendatangi KPK–dua bulan sebelum wafat–untuk mengonfirmasi kepedulian lembaga harapan banyak orang itu mengenai praktik KKN, tetapi kita tak bisa menegasikan fakta yang menjadi alas akademis orang-orang tua itu. Hati kecil kita akan berbisik, “Benar, apa yang mereka suarakan adalah kebenaran. Kita saja yang tak berani melakukannya”.

Tak ada lagi lengking suara Rizal Ramli. Hilangkah jurus Rajawali Ngepret. Tak ada lagi intelektual yang dengan penuh kesadaran mendedikasikan hidupnya untuk transparansi dan integritas bangsa. Seorang intelektual telah pergi, pemikirannya akan kekal abadi.

Ksatrian Sendaren 3 Januari 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles