22.4 C
Indonesia
Minggu, Mei 12, 2024
spot_img

Pasar Kliwon Cebongan: Perayaan Kemandirian Kaum Pinggiran

Oleh: Wahjudi Djaja*

Ini tak ada hubungan dengan kontestasi politik yang berbuntut lahirnya dua kutub Cebong vs Kampret. Bukan juga tempat penghasil anak katak. Bila mau dikaitkan dengan “Peristiwa Cebongan” justru boleh karena lokasinya tak jauh dari penjara Cebongan yang pernah diserbu Serda Ucok cs dari kesatuan Kopassus pada 2013.

Kliwon adalah salah satu hari dalam pasaran Jawa yang dikenal dengan pancawara selain Pon, Wage, Legi, Pahing. Selain memiliki arti, terkait pasar juga menentukan posisi. Pasar Kliwon biasanya berada di tengah. Sedang Pasaran Pahing merujuk Selatan, Pasaran Wage merujuk Utara, Pasaran Pon merujuk posisi Barat.

Pasar Kliwon Cebongan memang merujuk arah tengah dalam pancawara Sleman. Tepatnya berada di Kalurahan Tlogoadi, Kapanewon Mlati, Sleman. Pasar yang lain menyesuaikan makna pancawara yang telah dipahami dan dihapalkan masyarakat Jawa termasuk kaum pedagang klithikan. Mereka berpindah dari satu pasaran ke pasaran lain tanpa pernah salah atau lupa.

Jumat Kliwon adalah pasar Cebongan yang letaknya tak jauh dari rumah. Maka Jumat pagi bersiap-siap berinteraksi dengan ratusan pedagang dari berbagi wilayah. Mereka datang pagi, menggelar dasaran (alas dengan komoditas lengkap), dan menjaga sampai tengah hari. Segala keperluan hidup dari urusan dapur sampai intalasi listrik, dari baju sampai burung dan piaraan, dari kacamata sampai obat kuat, semuanya ada. Bagi dosen, jelas ada lapak khusus yang menjual buku-buku kuna, jika malu dibilang bekas.

Hari ini saya membeli lima buku bekas dari lapak Tanto, seorang spesialis penjual buku bekas. Kelimanya adalah buku Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungan Jawab) karya Mochtar Lubis, Mengenal Pokok2 Antropologi dan Kebudajaan karya Mahjunir, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber karya Abdul Hadi WM, Pintu-Pintu Menuju Tuhan dan Cendekiawan & Religiositas Masyarakat keduanya karya Nurcholish Madjid. Untuk kelima buku cukup Rp 200.000.

Pasar Kliwon Cebongan memang strategis, luas dan lengkap. Dulu para pedagang menjajar dagangannya di sepanjang tepi kiri kanan jalan sejak simpang tiga Kantor Kapanewon Mlati sampai simpang empat Pasar Cebongan. Jika bertepatan dengan Minggu Kliwon maka jalanan seolah diduduki pedagang. Pengguna jalan lain harus sabar, antre atau memilih jalur melingkar di sisi barat Cebongan. Beberapa tahun belakangan mereka direlokasi lebih ke dalam di sekitar lapangan Tlogoadi di bawah kebun jati.

Yang unik dari Pasar Kliwon Cebongan selain menjajakan barang-barang antik, juga pertemuan sesama pedagang atau pedagang dengan pelanggan yang lebih dari sekedar urusan trasaksi. Mereka bisa mendiskusikan banyak hal dari soal dagangan, masalah perkakas rumah yang rusak, sampai bisnis. Dan mereka bisa memilih tempat ngobrol yang santai, jika bukan warung wedang teh nasgitel–panas legi kentel–lengkap dengan bakwan dan tempe goreng hangat, ya warung tahu kupat. Keduanya hanya buka saat pasaran saja.

Melihat dan menikmati aktivitas rakyat pinggiran di pasar Kliwon Cebongan seperti sedang ditunjukkan kemandirian dan kedaulatan ekonominya. Tak mematok harga tinggi, apalagi bila baru awal buka dasaran–disebut sebagai penglaris–bahkan bisa tawar-menawar dengan penuh ketulusan dan kehangatan. Calon pembeli boleh berpura-pura pergi beranjak jika harga tak jua menemukan kesepakatan–dalam hati kecil biar dipanggil penjual kembali–lalu melihat-lihat dagangan yang lain.

Prinsip yang mereka pakai dan yakini dalam hidup adalah sing penting ngglinding, yang penting bisa jalan atau bergerak. Memasang harga tinggi untuk barang yang dijual selain sulit laku juga dianggap tidak berkah. Sekali laku bisa untung tetapi itu tak akan mampu bertahan lama. Mendingan, sedikit tetapi ajek dan rutin, terus berputar dan didatangi pelanggan. Mereka menjalani hidup sak madya, tidak rakus dan tidak mengemis, tidak kenyang dan tidak lapar. Mereka ummatan wasathan, umat yang di tengah, seimbang dan adil.

Kehidupan mereka memang berdasar falsafah patembayan, saling mengisi dan melengkapi. Tidak ambisius dan kemrungsung dalam menjajakan dagangan. Dalam banyak kesempatan malah melihat mereka antuk-antuk, duduk di tikar atau terpal sampil terlelap, seolah tak peduli dagangannya. Kalau memang sudah rezeki, pasti datang. Tidak juga mereka iri dengan transaksi temannya, apalagi sampai memprovokasi pembeli dengan membuat hoax atas dagangan liyan.

Pasar Kliwon Cebongan bisa jadi adalah representasi kemandirian dan kedaulatan hidup. Tak ada kesedihan di raut wajah mereka. Yang ada adalah ngglinding, terus bergerak dari satu pasaran ke pasaran lain dengan sesekali menambah dan melengkapi komoditi. Itulah makna ungkapan golek pangupa jiwa. Lebih dari soal mata pencaharian, aktivitas mereka menyangkut penghidupan. Dan itu artinya soal lahir batin yang harus didasari laku langkah yang terjaga.

Ksatrian Sendaren, 29 Maret 2024
*Budayawan Sleman, Anggota Pokja Ketahanan Ekonomi Badan Kesbangpol DIY

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles