25.4 C
Indonesia
Senin, Juli 1, 2024
spot_img

71 Tahun Emha Ainun Nadjib: Puisi Kehidupan, Prosa Peradaban

Oleh: Wahjudi Djaja*

Dalam jagad kebudayaan, Muhammad Ainun Nadjib, atau Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, adalah fenomena. KBBI mengartikan fenomena sebagai hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah. Sebagai fenomena budaya–menurut penulis–Cak Nun dapat dilihat dalam tiga kerangka besar.

Menulis Sebagai Naluri

Digembleng jalanan Malioboro oleh Umbu Landu Paranggi, menjadikan Cak Nun memiliki naluri yang tajam dalam mentransformasikan realita menjadi karya. Siang, terutama malam, dia menjadi saksi bagaimana Yogyakarta berdetak sebagai salah satu oase penting kebudayaan di Indonesia terutama era 1970/1980. Masa di mana tumbuh subur para penyair, sastrawan, penulis, teaterawan yang tiada henti bergerak dan mengekspresikan diri.

Jalan Malioboro seolah panggung raksasa sekaligus demarkasi penting yang menjadi penghubung poros Bulaksumur di utara dan poros Gampingan di selatan. Ada tiga titik kisar penting dalam tumbuh kembang kebudayaan Yogyakarta saat itu: Purna Budaya di UGM, Seni Sono (kini menjadi satu dengan kompleks Istana Gedung Agung) dan Jalan Malioboro 175 A di mana Persada Studi Klub (PSK) hadir bersama harian Pelopor. Ketiganya menjadi kawah candradimuka bagi banyak manusia kreatif. Manusia yang teguh dalam menapaki laku, berproses bersenyawa dengan alam dan kehidupan, tanpa harus disibukkan dengan pentas dan popularisme.

Itu yang–antara lain–mendorong muncul dan bangkitnya talenta kepenulisan Cak Nun. Keseriusan menapaki laku memberinya energi tiada habis untuk dieksplorasi menjadi beragam karya, baik tulisan maupun pementasan. Terbayang, kapan dia belajar–dalam bahasa sederhana kita–menulis sehingga sejak era 1970-an sampai 2000-an seolah tiada pernah putus. Tulisannya menghiasi beragam media mulai koran, tabloid, majalah sampai buku. Ceramahnya mengalir tanpa jeda. Kehadirannya menjadi dinanti baik oleh pembaca maupun audiens dalam berbagai acara. Kosa kata dan diksi yang dilontarkan autentik, kaya, mengalir khas arek Jombang, tanpa meninggalkan kesan keyogyakartaan.

Bersama Cak Nun di Kadipiro

Menulis baginya seperti naluri. Datang dan berantai saat dibutuhkan tanpa harus–sebagaimana kita–membuka buku dan membaca beragam referensi. Menulis baginya seperti indera keenam yang sama-sama optimal dalam membantunya mendeteksi peristiwa dan menyajikannya menjadi untaian makna dalam tulisan. Matanya jeli dalam menatap fenomena dan menemukan sesuatu yang jarang orang mampu membahasakannya. Belajar pada kehidupan menjadi kuncinya sehingga banyak peran didapatkan yang–hingga kini–sulit untuk digantikan. Pengembaraan jiwa raganya ternyata membuka beragam pengayaan yang banyak menopang hidupnya.

Pada Mulanya Puisi

Persentuhannya dengan Umbu Landu Paranggi–sosok bangsawan Sumba yang rela menanggalkan kebesarannya–sedikit banyak mengasah kepekaan batinnya akan keindahan susastranya. Cak Nun semula dikenal sebagai seorang penyair. Ada sebuah puisi yang dia tulis tahun 1973 berjudul “Akan Kemanakah Angin”.

Akan kemanakah angin
Turun melayang
Tatkala turun senja nan muram
Pada siapa lagu kuangankan
Kelam dalam kabut rindu tertahan

Datanglah engkau berbaring disisiku
Turun dan berbisik tepat disampingku
Belenggulah seluruh tubuh dan sukmaku
Kuingin menjerit dalam pelukanmu

Akan kemanakah berarak awan
Bagi siapa mata kupejamkan
Pecah bulan ombak lautan
Dahan dahan dihati berguguran

Bisa jadi diksi yang dia pakai jamak kita temu dan sering kita baca. Tetapi lihat cara dia merangkainya dengan suasana alam dan kerinduan hati, memang beda. Dan karenanya, puisinya tetap hidup seolah menjadi saksi atas perjalanan rasa dan karsanya. Selepas latihan baca puisi, Cak Nun (28/2/1984) menulis tentang cara mengatasi rasa tak percaya diri sebelum tampil membaca puisi:

Dengan segala kerendahan hati hati, ketika itu saya ikut urun rembug. Jawabannya lebih terletak pada agama, sebab hanya agama satu-satunya institusi nilai yang terang-terangan menawari manusia untuk melangkah ke Sumbernya.
Beratus kali saya membaca puisi, namun tetap selalu takut-takut juga melakukannya. Maka setiap hendak pentas, saya tidur. Rasa takut itu adalah kristal dari kotoran hidup saya, sehingga baca puisi hanya mungkin ketika saya sudah semeleh. Begitupun untuk menciptakan puisi, hanya mungkin tatkala saya bersekutu dengan-Nya, yakni Zat Puisi Maha Puisi, yang bisa kita mintakan kepadanya 100.000 sajak.

Baca puisi Cak Nun di Kadipiro (Foto: Tripan Widayat)

Puisi bagi Cak Nun adalah media ungkap yang paling pas menyampaikan kebesaran Tuhan. Di balik diksi yang dia susun dan rangkai, memantulkan kesadaran dan pencerahan. Itu bisa dilihat pada antologinya 99 Untuk Tuhanku, Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba, Cahaya Maha Cahaya, Syair-syair Asmaul Husna, atau Syair Lautan Jilbab. Dalam puisi “Kudekap Kusayang-sayang (1994), jelas dia menulis:
Kepadamu kekasih kupersembahkan
segala api keperihan di dadaku ini
demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu
sirnanya seluruh kepentingan diri dalam hidup
demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu.

Baginya, penyair tak bisa bebas atau dilepaskan dari soal politik. Selain merekam detak kehidupan yang kaya permasalahan, seorang penyair adalah saksi autentik atas esensi hidup yang diharapkan mampu memformulasikan permasalahan agar dibaca dan dipahami rakyat. Pada koran Bernas (28/6/1991) dia ungkapkan:
Kesenian yang ingin menjauhi politik sesungguhnya merupakan kesenian yang berpolitik. Yakni kesenian yang mendukung dominasi politik yang ada. Sekarang ini kita tidak dapat terbebas dari politik. Lha wong harga lombok saja merupakan hasil keputusan politik.

Desa Jantung Peradaban

Salah satu kepedulian Cak Nun dalam membangun peradaban bangsa adalah meletakkan desa sebagai locus gerakan. Dia memang bisa dan biasa tampil di berbagai forum nasional maupun internasional, tetapi semakin ke sini dia akrabi masyarakat pedesaan. Jamaahnya yang tergabung dalam Maiyah mayoritas berasal dari kalangan bawah. Ini bukan tanpa alasan. Baginya mengakrabi dan membangun kesadaran masyarakat yang sering terpinggirkan oleh derap pembangunan adalah kebahagiaan tersendiri.

Bersama musik Kiai Kanjeng, Cak Nun tidak saja menghibur tetapi juga menyerap permasalahan lalu dilemparkan kembali dalam beragam bentuk solusi. Atraktif, komunikatif dan menjadi bekal jamaahnya dalam menapaki kehidupan. Cak Nun menampilkan diri sebagai katalisator atas keluh kesah masyarakat. Pada pementasan terakhir sebelum jatuh sakit, Cak Nun memberi apresiasi mendalam atas kerja peradaban yang dilakukan Lurah Panggungharjo Sewon Bantul, Wahyudi Anggoro Hadi, yang memberinya kado 10 buku tentang peradaban desa.

Terlalu luas membaca Cak Nun. Tak mampu rasanya mengemas menjadi sebuah tulisan. Apa yang saya tulis bisa jadi hanya pandangan jauh dari pegiat desa yang merasa memperoleh pelajaran dari seorang Cak Nun. Selamat ulang tahun Cak, semoga dikaruniai keberkahan, kesehatan dan kebahagiaan. Aamiin

Ksatrian Sendaren, 27 Mei 2024
*Budayawan Sleman

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles