25.4 C
Indonesia
Senin, Juli 1, 2024
spot_img

Bung Karno, Pancasila dan Beban Sejarah UGM

Oleh: Wahjudi Djaja*

Akhir Mei sampai awal Juni 1945, BPUPKI melakukan pembahasan maraton tentang dasar negara. Ada Muh Yakin, Supomo dan Soekarno yang memberikan usulan. Sementara itu, ada peristiwa penting terkait peranan UGM dan Pancasila. Pada tanggal 19 September 1951 Prof Notonagoro menyampaikan pidato pada Promosi Doktor Honoris Causa Ir Soekarno.

Dalam catatan sejarah bangsa ini, peran kesejarahan UGM memang tak bisa diabaikan. Tulisan singkat ini dimaksudkan sebagai upaya membuka kembali peran UGM dalam meneguhkan kembali Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa yang sesungguhnya tengah dilanda krisis.

Notonagoro dan Pemikiran Pancasila

Dalam perbincangan kenegaraan di sekitar suksesi kepemimpinan nasional, orang sering membuat akronim “Notonagoro” untuk presiden Republik Indonesia. Biarlah itu menjadi urusan ahli tafsir, lebih menarik untuk mengaktualisasikan kembali pemikiran dan konsep Notonagoro tentang Pancasila dalam kehidupan yang seperti semakin mengabaikan etika dan moralitas kebangsaan.

Menurut Prof Dr Notonegoro SH, Pancasila merupakan suatu norma hukum pokok atau pokok kaidah fundamental yang memiliki kedudukan tetap, kuat, dan tidak berubah. Inilah yang menjadi latar belakang historis sehingga MPR pun tak berani mengutak-atik Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 saat amandemen UUD 1945. Bagi Notonagoro, negara yang berdasarkan Pancasila ini merupakan negara kebangsaan yang berkeadilan sosial.

Negara ini dibentuk sebagai manifestasi manusia sebagai makhluk Tuhan, sifat kodrat individu dan makhluk sosial. Tujuannya untuk mewujudkan suatu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial). Dalam pandangan Notonagoro, keadilan sosial meliputi tiga hal yaitu: keadilan distributive (keadilan membagi) yaitu negara terhadap warga negara; keadilan legal (keadilan bertaat) warga terhadap negaranya yaitu untuk mentaati peraturan; dan keadilan komutatif (keadilan antarsesama warga negara) yaitu hubungan keadilan antara warga negara satu dengan lainnya secara timbal balik (Notonagoro, 1975).

Revitalisasi dan aktualisasi pemikiran Notonagoro tentang Pancasila sebagai pandangan dan dasar negara setidaknya perlu memperhatikan tiga hal. Pertama, perlu dicarikan metode dan strategi yang cerdas dan tepat agar pengalaman indoktrinasi model Penataran P4 tidak terulang. Dalam dunia pendidikan, perlu disediakan buku-buku yang bisa menyemai nilai-nilai Pancasila secara kontekstual dan manusiawi, sekaligus membuka ruang bagi interaksi antar anak bangsa. Buku-buku Pancasila dan PKn yang kebanyakan dipakai di jenjang pendidikan SD sampai SMA selain abstrak, kering, juga kurang memberikan makna keindonesiaan.

Kedua, perlu pembenahan ulang pola pikir masyarakat tentang Pancasila. Harus diakui, era reformasi justru mendelegitimasi peran dan kedudukan Pancasila. Nilai-nilai Pancasila tergerus oleh keserbabolehan sebagai ekspresi kebebasan setelah terkungkung selama 32 tahun. Konsekuensi logisnya, kehidupan berbangsa dan bernegara pun menuai beragam permasalahan etika, norma, hukum, dan keadilan.

Ketiga, menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila agar membumi dalam kehdupan berbangsa dan bernegara tanpa diikuti dengan keteladanan, ibarat menggantang asap. Seluruh bangsa ini harus—meminjam istilah Ahmad Syafii Maarif—segera siuman dari tidur panjangnya.

Pemasalahan keadilan, kesejajaran, dan persatuan sesungguhnya berada pada titik nadir. Hanya dengan melanjutkan perjuangan dan kembali ke jatidiri dan identitas bangsa, maka eksistensi dan integritas bangsa bisa dipertahankan.

Peran Kesejarahan UGM

Dalam rentang panjang perjalanan sejarah bangsa, UGM menempati beberapa etape penting yang—sesungguhnya merefleksikan nilai-nilai Pancasila—dan membuka kemungkinan secara faktual memperoleh klaim sejarah.

Pertama, UGM merupakan satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia dengan sebutan sebagai Kampus Kebangsaan. Ini bukan tanpa alasan. Sejarah berdirinya universitas ini–19 Desember 1949–beriringan langsung dengan berdirinya NKRI yang kala itu beribukota di Yogyakarta. Para pemuda dari berbagai tempat di Indonesia menempuh kuliah di UGM. Bukan hal yang aneh apabila alumninya ikut menentukan jalannya sejarah negeri ini.

Kedua, UGM merupakan satu-satunya perguruan tinggi dengan predikat Kampus Kerakyatan. Sebutan ini bisa dipahami dari dua sisi. Kawasan kampus UGM dulu merupakan arena rendezvous bagi semua kalangan, mulai rakyat biasa, pedagang, mahasiswa, hingga orang kaya setelah sepekan kerja keras. Selain itu, visi dan orientasi para ilmuwan kampus ini—semoga belum berubah—terfokus pada masalah-masalah kerakyatan. Hampir semua pusat studi yang dimiliki memasang keberpihakan pada rakyat, bukan pada penguasa. Disinilah, Pusat Penelitan Pembangunan Pedesaan dan Kawasan—yang akrab dengan akronim P3PK—mencatatkan perannya.

Ketiga, UGM adalah Kampus Pancasila. Pada 19 September 1950, Prof Notonagoro—wakil Senat Universitas Gadjah Mada sekaligus promotor pada saat penganugerahan gelar Honoris Causa kepada Ir. Soekarno dalam bidang Ilmu Hukum—menyampaikan pidato yang merupakan mahakarya pemikiran mengenai Pancasila sebagai sebuah dasar filsafat negara.

Inilah peran sentral UGM dalam perjalanan berbangsa dan bernegara bagi Indonesia. Dari sinilah lahir beragam pemikiran untuk menginterpretasi, mengaktualisasikan, dan mereaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Di tangan Prof. Mubyarto muncullah Ekonomi Pancasila, sebuah konsep ekonomi yang brilian dan khas Indonesia. Konsep itu sempat diaplikasikan dalam bentuk Inpres Desa Tertinggal (IDT), sayangnya pemerintah tidak utuh dan konsisten dalam menerapkannya. UGM lengkap para civitas akademika bersama rakyat turut membuka pintu gerakan reformasi 1998. Bermula dari diskusi di PPSK, diakusi kampus sampai long march 20 Mei 1998 dari Bulaksumur sampai Alun-alun utara Kraton Yogyakarta. Bunderan adalah kawasan paling penting dan paling tinggi intensitasnya sebagai titik kumpul demonstran di Asia Tenggara.

Di tangan Notonagoro, ideologi Pancasila bisa ditransformasikan menjadi manusiawi dan aplikatif, kemudian diurai secara jernih oleh para pemikir UGM. (Baca Notonagoro dan Pancasila: Analisis Tekstual dan Kontekstual, terbitan Universitas Gadjah Mada, 2006). Zaman bergerak. Kampus Biru yang dulu senantiasa mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat berkesempatan berada di ring kekuasaan dengan segala dinamikanya. Kita menunggu dan berharap langkah dan karya nyata dari UGM untuk kembali menorehkan catatan sejarah sesuai dengan jatidiri dan karakternya.

Ksatrian Sendaren, 31 Mei 2024

*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles