21.4 C
Indonesia
Sabtu, Juni 22, 2024
spot_img

Jogja yang Ngangeni

Oleh: Anif Punto Utomo*

Jogja ‘cen’ Istimewa (1)

Kata orang yang pernah tinggal di Yogyakarta (selanjutnya kita tulis Jogja): Jogja itu ‘ngangeni’. Susah menerjemahkan kata ‘ngangeni’ secara tepat ke bahasa Indonesia. Kota yang selalu bikin rindu, mungkin begitulah.

Joko Pinurbo mengekspresikan Jogja sebagai kota yang ‘ngangeni’ dalam sebait puisi: ‘’Jogja terbuat dari rindu pulang dan angkringan’’. Bait puisi itu terabadikan di selasar gedung Teras Malioboro, gedung tempat jualan kaki lima yang berada di sisi kanan ujung Jalan Malioboro.

Dulu gedung itu adalah gedung bioskop Indra, layar lebar pertama di Jogja yang didirikan tahun 1917 oleh Helland Muller, pengusaha Belanda. Saat didirikan bioskop dibagi dua kelas yakni Al Hambra (untuk kalangan elit) dan Mascot (untuk kalangan sosial biasa). Pada 1980-an, bioskop masih beroparasi dengan harga tiket yang ramah terhadap mahasiswa.

Ada tarikan kuat dari Jogja bagi yang pernah tinggal (umumnya kuliah) di sana, terutama mahasiswa angkatan 1970-an sampai 1980-an (mungkin juga angkatan 1960-an). Apalagi yang dapat jodohnya juga diperoleh semasa sama-sama kuliah di Jogja.

Kenapa? Karena mahasiswa angkatan itu lulusnya lama. Mereka baru bisa menyelesaikan kuliah rata-rata 6-10 tahun. Jadi selama itu pula mereka menikmati romantika Jogja.

Romantika tentang bagaimana harus bertahan hidup menyiasati keterbatasan kiriman uang. Bagaimana mengatur makan tiga kali tetapi lauk tahu hanya satu iris. Bagaimana caranya agar bisa terlihat mentereng makan di SGPJ padahal dompet menipis. Bagaimana pinjam motor teman untuk bermalam minggu sekadar indehoi melintas Malioboro dan sudut-sudut kota bersama pujaan hati.

Maklum sebagian besar mahasiswa angkatan itu datang dari kampung yang hidupnya pas-pasan. Mahasiswa yang punya motor bisa dihitung dengan jari.

Belum lagi bagaimana menyiapkan mental menghadapi dosen-dosen zaman itu yang rata-rata kalau tidak ‘killer’ ya ‘mbahne killer’. Mau maju konsultasi skripsi terkadang gemetar duluan. Itu salah satu yang membikin lulusnya lama.

Bagi sebagian orang yang mendengar cerita seperti itu berpikir: Betapa ‘sengsaranya’ hidup ‘korea-korea’ (mengambil istilah yang dipopulerkan kembali oleh Bambang Pacul) itu semasa kuliah.

Tapi sebetulnya tidak. Memang terlihat sesengsara itu, namun karena hampir semua mahasiswa merasakan hal sama, kesengsaraan kolegial itu menjadi terlupakan. Sepertinya enjoy-enjoy saja saat itu. (Perkecualian yang terkait dengan dosen killer, ini sih tidak ada enjoy-nya)

Di sisi yang lain, pengalaman ‘manis-manis pahit’ itu membuat Jogja seperti menjadi tempat kelahiran kedua. Tempaan hidup yang beragam telah mengubah mental menjadi petarung sebagaimana Miyamoto Musashi setelah mengalami pengucilan selama tiga tahun.

Musashi adalah ronin (samurai yang tidak mempunyai tuan) yang dikurung di kamar sempit oleh pendeta bernama Takuan. Di dalam masa pengucilan itu Musashi melakukan meditasi dan membaca buku hingga menemukan pencerahan, yang kemudian mengantarnya untuk menempuh hidup di jalan pedang.

Tidak persis seperti Musashi tentu saja, tetapi kira-kira begitulah mahasiswa Jogja. Dari yang sebelumnya culun datang dari kampung, kemudian dididik secara keras oleh kehidupan sampai mengalami pencerahan seolah lahir kembali.

Jogja sebagai kota kelahiran kedua lantas menjadi magnet bagi mereka yang pernah ‘sengasara’ di sana. Ada tangan-tangan tak terlihat yang menarik-narik untuk kembali ke Jogja.

Tak heran jika kemudian hari setelah berhasil di perantauan, banyak alumni dari berbagai universitas di Jogja yang pulang ke Jogja, punya rumah di Jogja. Mereka tidak pulang ke kota kelahirannya, tetapi ke kota kelahiran keduanya.

Ada yang kembali untuk menikmati masa pensiun di Jogja yang kehidupannya berjalan ‘slow’. Ada yang kembali untuk bernostagia mengenang masa-masa indahnya di Jogja. Ada yang kembali untuk kedua alasan itu.

Kenangan indah itu ‘priceless’, sehingga berapapun harga rumah kalau ada uang ya dibeli. Inilah yang menyebabkan harga tanah di Jogja, terutama kawasan utara menjadi selangit. Rumah-rumah yang semula dimiliki warga Jogja (DIY tepatnya) asli, sebagian sudah beralih.

Ah, ini konsekuensi dari ‘ngangeni’ yang kalau tidak dirawat dengan baik kelak bisa menggusur masyarakat asli. Jogja ‘cen’ istimewa, karena itu harus dikelola dengan cara istimewa pula agar warga asli dan warga yang pernah ‘ngenger’ di Jogja tetap hangat bersahabat.

*Jurnalis Senior

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles