21.4 C
Indonesia
Minggu, Juni 23, 2024
spot_img

Joko Pinurbo Dalam Dimensi Kuasa dan Sastra

Oleh: Wahjudi Djaja*

Jokpin sangat njawani. Di Sukabumi, ia cuma numpang lahir doang. Ia penyair besar, penerus gaya Sapardi. Puisi Indonesia kehilangan Sihir Jokpin. Insya Allah, dia bahagia di Surga. Sebagai penyair, dia terlalu baik.

Testimoni di atas adalah diungkapkan dosen FIB UI, Dr Maman S Mahayana. Sebuah kesaksian yang tak perlu kita bantah. Jokpin–demikian dia akrab disapa–memang telah menyatu menjadi “wong Jogja”. Karakter orang Yogyakarta itu antara lain mengedepankan rasa tanpa menghilangkan ketegasan dalam bersikap. Itu antara lain dapat dilihat dari laku hidup keseharian–dalam dimensi kesusastraan maupun tegur sapa kebudayaan–dan dalam sejumlah karya yang njawani, teges dan maton.

Tulisan ini tidak akan mengulas beragam puisi dan petikan celotehnya, tetapi dimensi kesejarahan yang pernah dia gelisahkan. Pada koran Bernas (21/7/1991), Jokpin menulis artikel berjudul “Perlunya Menulis Sejarah Sastra di Kota Yogyakarta”. Tulisannya berangkat dari gejala sentralisme kesusastraan sebagai dampak menguatnya posisi Jakarta–baca Negara–dalam dialiektik kebudayaan.

Seperti sentralisme dalam dunia politik telah menimbulkan bahaya uniformisme dan otoriterisme, maka sentralisme dalam dunia kesusastraan pun bisa menimbulkan bahaya serupa. Pada titik ini, kita melihat, segala sesuatu yang disajikan dalam forum-forum, risalah-risalah, dan buku-buku sejarah sastra, baik kuantitatif maupun kualitatif, tidak saja terlalu bersifat global tetapi juga tak mengungkapkan kekayaan sastra Indonesia yang sesungguhnya.

Jokpin menatap kekuasaan yang seolah kian mempersempit ruang bagi tumbuh kembang dan apresiasi terhadap lokalitas. Sambil memberi contoh pada aktivitas yang dilakukan Suwarno Pragolopati dan Linus Suryadi AG, Jokpin memberi penekanan pada pentingnya penulisan sejarah sastra.

Usaha-usaha semacam itu jelas bukan hanya bermakna bagi dunia sastra sendiri tetapi juga bagi perkembangan kebudayaan dalam arti luas. Apalagi, jika kita sepakat bahwa sejarah sastra tidak hanya dimaksudkan sebagai sejarah perkembangan sistem jenis sastra, sejarah tokoh-tokoh dan karya-karya sastra, melainkan juga sejarah perkembangan, pemikiran dan dinamika jiwa manusia.

Apa yang diungkapkan Jokpin sangat mendasar. Sastra sebagai ungkapan rasa dan jiwa manusia secara tidak langsung merekam dan mendokumentasikan pemikiran. Karya sastra kita, bahkan sejak era pergerakan nasional, telah memainkan peran penting bagi tumbuh kembang nasionalisme dan perubahan sosial di masyarakat. Kita bisa melacak beragam karya sastra yang secara tidak langsung mendokumentasikan pemikiran. Bagaimana respon para sastrawan era Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, bahkan Angkatan 98 bisa kita buka dan baca dari karya sastra yang ada.

Dalam Ilmu Sejarah itu termasuk Studi Sejarah Pemikiran atau Sejarah Intelektual. Ide, gagasan dan konsep yang ditulis, digerakkan dan diperjuangkan menjadi objek penelitian yang amat menarik. Sayangnya memang belum banyak akademisi yang melacak sejarah pergerakan nasional, misalnya, melalui telaah karya sastra. Pada zamannya, para pemimpin bangsa generasi pertama terdiri atas para sastrawan, wartawan, dan ilmuwan. Mereka tidak saja mampu menggerakkan massa melalui pidato tetapi juga dengan karya tulisan.

Tema yang diangkat Jokpin mestinya menyadarkan kita betapa penting kita merawat khazanah sastra dalam bingkai sejarah dan dokumentasi. Di kabupaten/kota sekarang ada Dinas Kearsipan, di UGM juga ada Prodi Kearsipan. Konsekuensi logisnya, urusan dokentasi karya sastra sudah bukan masalah lagi. Secara kelembagaan mereka diharapkan bisa menggantikan dan melanjutkan apa yang pernah dilakukan Suwarno Pragolopati dan Linus Suryadi AG.

Sebagai penutup, ada sebuah puisi karya Prof Faruk HT (Guru Besar FIB UGM) yang menarik dibaca senyampang merayakan hari kelahiran Joko Pinurbo 11 Mei 1962. Penyair bertalenta ini meninggal dunia pada 27 April 2024. Dalam pandangan Prof Faruk saat mengetahui Jokpin meninggal dunia, “Jokpin sudah membelanjakan seluruh tabungan usianya. Demi puisi, juga demi Tuhan, dan sesamanya. Moga mencerahkan kita semua, tentang beragama dan betuhan dengan jenaka”.

JOKPIN*
(Puisi Faruk HT)

Di telaga yang sunyi
Di sela-sela daun
Tampak jokpin mandi sendiri
Diam-diam turun bidadari
Mencuri celana dan sarungnya
Ia pun pulang telanjang bulat
Dengan dua tangan menutup anunya

Hari-hari jokpin mulai terasa berat
Tapi tubuhnya jadi semakin ringan
Bapaknya tak pulang-pulang dari kubur
Sedang ibunya sibuk menenun kata
Jokpin hanya bisa memandang dari jendela
Menatap sarung langit biru membentang
Dengan hiasan matahari, celana, dan bintang

Sekilas mata jokpin melihat jagung berbuah di pekarangan
Lalu ia bergegas lari ke dalam menemui ibunya
“tak ada yang lebih sia-sia daripada menenun kata, bu.
Sarungku sudah ketemu di kebun”.

Hidup jokpin pun jadi tambah ringan
Sedang tubuhnya semakin berat
————————
*Oleh-oleh dari acara Wisata Sastra tanggal 12 Juni 2015 di PKKH

Selamat ulang tahun Bung Jokpin, semoga damai bahagia di keabadian, amin

*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (KASAGAMA)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles