21.4 C
Indonesia
Sabtu, Juni 22, 2024
spot_img

Nasi Pecel Magetan Bu Ramelan, Kamulyan kang Ngambar-ambar

Oleh: Wahjudi Djaja*

Nganti mélér-mélér. Itu kira-kira ungkapan yang pas–untuk rasa dan harga–yang sering diucapkan orang Jawa setelah merasa cocok dengan hidangan atau jajanan yang disajikan. Lebih dari sekedar nikmat apalagi puas karena hidangan yang disajikan telah memenuhi target perut, ini sebentuk rasa-pangrasa, taste, berdurasi peradaban. Badan menjadi hangat berkeringat, kenyang, tapi sensasinya tak kunjung hilang untuk dikenang dan diceritakan.

Dikelola dengan manajemen amat sederhana–baik cara menaruh hidangan, menyiapkan meja kursi pembeli, melayani maupun menghitung besaran harga–warung nasi Bu Ramelan hadir membelah konstruk bisnis kuliner Yogyakarta yang kian menggurita dan bergerak ke kelas atas. Tidak saja berani membuat determinasi atas rasa manis yang menjadi brand kuliner Kota Gudeg ini–dengan menyodorkan rasa gurih asin khas magetanan–Bu Ramelan membongkar gaya hidup orang masa kini yang cenderung wah, mewah, glamour, dan berkelas. Jajaran parkir beragam moda kendaraan dari sepeda onthel sampai pajero terbaru–seperti saat saya mampir untuk santap pagi selepas dari Piyungan–adalah bukti betapa egaliternya masakan Bu Ramelan.

Warung pecel magetan Bu Ramelan di tepi jalan Laksda Adisucipto Ambarukmo (Foto: Wahjudi Djaja)

Melihatnya menggelar dagangan sejak pagi buta, saya jadi bertanya: benarkah hanya usaha yang dikelola dengan manajemen modern yang mampu bertahan? Apa sih modern itu? Nampaknya kita terlalu dicekoki omong kosong soal manajemen, soal modernisme, sumber daya manusia berkualitas sampai investasi, etc. Mbélgédhés!

Menempati sebuah ruang berukuran 4×4 di depan bangunan tua yang tak dipakai dengan tiga pembantu–orang yang membantu, satu anak dua ladén, bukan dalam pengertian ART–Bu Ramelan bak juragan makanan. Ramah, cenderung ndagel saat melayani pembeli tapi jangan tanya soal kemampuannya menghitung harga dan uang kembalian. Cekatan, thas thes dan mobile. Jika bukan ditempa hitung dagang alami bertahun lamanya, mana mungkin dia bisa melebihi uthak uthik-nya anak zaman sekarang menggunakan kalkulator.

Rebusan bayam–kemedhul, baru saja dientas dari panci atau kwali–menumpuk di rinjing bambu, tauge, kacang panjang tak pernah kehabisan stok mengelilingi tubuhnya yang sudah tua dan agak bungkuk. Di antara sayuran itu, sak sok pelayannya memenuhi bakul dari anyaman bambu dengan tempe goreng, bakwan atau telur dadar. Sementara para pembeli harus rela duduk sambil uyel-uyelan, berhimpitan, sambil menikmati nasi pecel dengan minuman. Bisa teh manis, jeruk hangat, atau kalau mau agak segar ditambahi es. Jangan coba leha-leha menikmati nasi pecel dengan berlama-lama kalau Anda tak mau dianggap egois dan tak punya perasaan. Bagaimana tidak, di belakang Anda yang tengah duduk menikmati nasi pecel itu sudah antre calon pembeli yang mengepung dari pintu depan dan samping. Selesai makan, cepat bayar, dan pergi! Gantian yang lain. Sama rasa, sama rata, asal kebutuhan sudah tercukupi, sudah.

Nasi pecel magetan Bu Ramelan (Foto: Wahjudi Djaja)

Siklus ritual peradaban makanan seperti itu sudah dijalani Bu Ramelan sejak 1983 di pasar Demangan. Pasar yang tiap pagi menjadi urat nadi berpuluh warung makan para pemilik kos-kosan di sekitar Samirono, Demangan, Iromejan, Balapan, Papringan. Pasar yang tiap pagi tumpah ke jalan karena keterbatasan ruang parkir. Di situlah Bu Ramelan memulai usahanya dan baru pada 1999 pindah lokasi ke sisi timur Pesanggrahan Ambarukmo ini. Pada masa awal, warung ini seolah milik para buruh yang berangkat kerja dari arah timur. Murah meriah, enak, sehat dan wareg (kenyang). Ingat, Yogyakarta dulu khas dengan sebutan Kota Sepeda, Kota Becak, Kota Angkringan, Kota Andong. Lain waktu saya ceritakan masa-masa romantis itu.

Setelah cukup lama antre sambil berdiri mematung, saya baru bisa duduk. Pesan nasi separoh dan pecel, tanpa telur dadar atau telur glundung. Dan, byuuuur. Bu Ramelan mengguyur nasi bayam dengan sambal kacang khasnya. Menikmati dengan dua iris tempe goreng, sesunduk sate ayam, dan es jeruk sambil sedikit ngobrol dengan pembeli di sebelah–sekedar menghangatkan kohesi sosial, hal yang kian langka–lalu hitung pesanan dengan cepat. “Gangsal welas ewu, Mas”, kata Bu Ramelan. Rp 15.000, untuk zaman neo malaise?

Kalau tidak mau digebuki rembug, jangan coba merokok sambil duduk di dalam warung. Selain mengganggu pembeli lain juga terkesan arogan. Maka saya bergeser keluar, menemani tukang parkir sambil ngobrol ngalor ngidul tentang beragam tema, fokus Bu Ramelan. “Sampun, Pak? Badhe tindak pundi?” Sambil mempersilakan duduk di pagar warung, tukang parkir memulai obrolan.

Bersama Pak Suprapto di Balekambang tahun 2012 (Foto: Dok Pribadi)

Sambil menikmati pagi lalu lalang orang dari dan ke Yogyakarta, terbayang Ambarukmo pada abad silam. Sebuah pesanggrahan yang dibangun masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V (1823-1825) dengan nama Pesanggrahan Harja Purna (Arjopurno). Namun baru selesai dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921) dan menjadi kediaman beliau saat lengser keprabon. Di bagian belakang ada taman Balekambang dengan kolam dan arsitektur indis. Selain Balekambang ada bangunan Pendhapa, Paretan, Dalem Ageng, Selasar, Gandhok Tengen dan sebagian Pagar serta Gapura. Bung Karno membangun Hotel Ambarukmo pada 1966 dari uang pampasan perang Jepang setelah konferensi perdamaian internasional di San Francisco pada 1951. Plaza Ambarukmo yang dibangun pada 2006 menghilangkan beberapa bagian Gandhok Tengen dengan taman bunganya.

Di bagian tengah pernah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sleman pada periode awal. Empat Bupati Sleman pernah berkantor di Pesanggrahan Ambarukmo, yaitu KRT Pringgodiningrat (1945-1947), KRT Projodiningrat (1947-1950), KRT Dipodiningrat (1950-1955), KRT Prawirodiningrat (1955-1959), dan KRT Murdodiningrat (1959-1964). Pada 2012 saya pernah memasuki sudut-sudut Pesanggrahan Ambarukmo saat diminta membantu Kantor Arsip Daerah Sleman melacak jejak pemerintahan Kabupaten Sleman. Saya wawancara dengan Pak Suprapto, seorang karyawan pemerintah Kabupaten Sleman di Ambarukmo. Hasilnya saya tulis dalam bulatin Arsip edisi khusus KAD Sleman.

Buletin Arsip KAD Sleman (Foto: Dok Pribadi)

Bu Ramelan tak pernah menduga bahwa sepenggal hidupnya harus tinggal di Ambarukmo–ambar artinya langit, harum semerbak, cakrawala; rukmo artinya setia, welas asih, dan luwes, juga dimaknai emas–dan melayani beribu orang setiap hari. Bu Ramelan bisa jadi tak mengetahui bahwa kepribadiannya dalam keseharian menyimpan energi peradaban di balik gemerlap Yogyakarta. Selalu melayani, memberi energi, menopang hidup banyak orang, dan semua dikemas dalam kebersahajaan, apa adanya dan karenanya istimewa.

Ksatrian Sendaren, 9 Juni 2024
*Budayawan Sleman, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles