Oleh: Wahjudi Djaja*
Suara-suara yang dikubur diam-diam, tanpa upacara, pada akhirnya dibangkitkan. Pun kicau kutilang yang belum lengkap didengar mawar kuning di taman, bunga rumput jalanan.
Babak baru dilalui Gati Andoko. Sulit bagi saya memberinya predikat padanya. Sebuah album bertajuk “Nywara” diluncurkan di platform Spotify. Kumpulan sepuluh lagu sarat pesan dalam beragam irama. Kadang kontemplatif, renyah, cair dan soft listening. Gati nampak memperhitungkan benar komposisi musiknya agar sesuai dengan pesan lirik.
Eksponen Sanggar Teater Gadjah Mada ini memang dikenal serbabisa. Lama dikenal sebagai sutradara berbagai pementasan teater, lihai menulis naskah dan novel berlatar sejarah, kini nampaknya dia merespon permintaan teman-temannya saat Gati mengirimkan video musik di Facebook.
Lirik yang dikutip di atas adalah potongan lagu Kutilang. Diangkat dari puisi Landung Simatupang. Konsisten dengan makna dasar nywara–yang bisa dimaknai muni atau mengeluarkan suara–Gati meramu lirik dengan pesan mendalam dan aransemen yang pas. Suara adalah esensi dasar musik. Lebih dari sekedar vokal yang diiringi, nywara dalam konsep Gati lebih ditekankan pada daya ekspresi jiwa merdeka atas tekanan-tekanan dan permasalahan dalam hidup.
Dibuka dengan lagu Suluk Sampan, Mantra Pohon, Bu…, Cemara Boulevar, Kutilang, Randu, Burung-Burung, Tanah yang Angkuh, Rindu Rumah dan Di Bawah Cemara Boulevar, Gati mengajak kita untuk mengakrabi semesta di sekitar kita. Ia bisa berupa ruang, ekosistem, habitat atau sekedar kenangan-kenangan masa kuliah.
Bisa diduga, kenapa dua lagu yang dirilis menempatkan Boulevar sebagai tema. Ada kenangan di sana. Lama, bahkan. Kita mafhum, itu area paling eksotik–selain Lembah–yang pernah dimiliki Universitas Gadjah Mada. Bunderan adalah tempat paling tinggi intensitasnya untuk demonstrasi mahasiswa, hal dimana Gati pernah dikejar-kejar aparat pada reformasi 1998 karena nywara atas kebekuan Orde Baru. Di sebelah timurnya ada Gelanggang Mahasiswa UGM, markas besar aktivis dan kelompok mahasiswa di mana Gati pun betah di dalamnya bersama Sanggar Teater Gadjah Mada.
Yang perlu diapresiasi dari seorang Gati Andoko adalah keseriusannya menapaki pembelajaran. Pernah merasakan didikan WS Rendra, terlibat sebagai pemeran film–Wage dan Aach…Aku Jatuh Cinta–Gati memang lihai memainkan beragam alat musik. Mulai gitar, cug (kencrung), sampai seksofon. Dari beberapa video yang di-upload terlihat kelincahannya menemukan dan meramu irama-irama baru. Kadang keroncong, jazz, samba sampai bossanova. Anehnya, semua nyaris dimiliki secara otodidak. Belajar sendiri, rengeng-rengeng sendiri, gubah sendiri, nywara sendiri. Yogyakarta beruntung punya Gati Andoko.
Selamat atas rilisnya Kangmas Gati bersama tim. Semoga berkah bermanfaat. Bagi yang ingin menikmati karyanya, bisa membuka https://spotify.link/r87F7hWXfKb.
Ksatrian Sleman, 8 Juni 2024
*Budayawan Sleman