21.4 C
Indonesia
Sabtu, Juni 22, 2024
spot_img

The Wounded Cuts: Kesenian, Uang dan Pilihan Sikap

Oleh: Whani Hari Darmawan*

Tahun 1991 saya menuliskan lakon The Wounded Cuts sebagai suatu pelepasan atas kecamuk pikiran muda waktu itu tentang hal ihwal jati diri. Maka tertulislah lakon tanpa cerita tanpa karakter. Isinya bisa jadi semacam aforisme, melompat dari satu nilai ke nilai lainnya.

The Wounded Cuts, dalam naskah aslinya ”Luka yang Terluka”. Apa yang dimaksud dengan judul tersebut? Tak lain kondisi luka yang bertumpuk bertubi. Satu hal tak selesai ditumpuk hal lain lagi yang menimbulkan lebam. Cuma satu ikhtiar ‘mendendangkan’ luka dengan cara lain. Tidak ingin terjebak dalam jargon pongah ”kalau politik kotor seni akan membasuhnya”. Enggak. Seni nggak sekuasa itu, tapi seni punya upaya sendiri. Itu saja.

Lalu, mengapa saya berkarya seni? Salah satu jawaban simpel adalah karena senang. Membuat karya seni seperti mengalirkan energi pikiran dan perasaan, menyampaikannya kepada orang lain. Jawaban yang agak lebih ‘absolut’ adalah karena saya seniman. Tugas seniman bicara lewat seninya. ‘Takdir’ saya berkesenian. Karena saya ditakdirkan jadi manusia seni maka dengan sendirinya menangkap dan mengolah ide, cara berpikir, cara menggagas, cara mengkreasi sudah menjadi suatu putaran otomatis (template?).

Muatan gagasan yang datang secara deras kadang menggelisahkan jika tak segera ditumpahkan. Nah, latihan menangkap, mengolah dan menuangkan gagasan bagi saya sendiri menjadi pelajaran disiplin yang sangat penting. Melatih diri setiap saat dalam menangkap, mengolah dan menuangkan.

Kalau ngomong visi sebenarnya apa sih visi The Wounded Cuts Project ini? Membangun kekuatan bersama untuk tumbuh bersama melalui seni.

Di luar soal diri saya sendiri, sekarang saya lebih menyadari soal pertumbuhan bersama. Karena saya bukan guru, maka saya belajar pola bekerja sama. Nggak usah nggurui, nggak usah ngajari, bekerja bersama-sama. Berbagi dan mendapatkan itu soal yang otomatis.

Danang Pamungkas dan isterinya, Galuh Sinta, sejak lama adalah pasangan penari yang saya kagumi. Disiplin dan keliatan tubuhnya luar biasa. Maklum keduanya seniman tubuh yang telah mengiris ‘segempil bumi’ : Austria, Singapore, Amerika, India, Taiwan, Inggris, Paris, dll dan bergabung dengan para koreografer kelas dunia.

Di The Wounded Cuts ini keduanya saya minta menari di atas kursi dengan penampang lebar 35 x 35 cm. Di balik usahanya itu terpikir oleh saya, bagaimana jika antara keduanya punya masalah rumah tangga yang membuat keduanya bertengkar? Dalam amatan saya melalui harmoni gerak ganjalan itu tak pernah ada. Dalam terkaan saya itu pasti akan berpengaruh dalam menari.

Menari di atas kursi dengan ukuran tersebut di atas, bukan hanya soal fisik, yang jelas adalah keseimbangan. Kalau ada yang tak seimbang dalam batin mereka tidak akan mungkin mereka bisa menjaga keseimbangan untuk bergerak saling menyelamatkan dalam keindahan. Melihat mereka warming up dengan Yoga Couple saja membuat saya jadi tambah gumunan.

Jika proses pemanggungan The Wounded Cuts ini ‘diuangkan’ rasanya kami tidak akan pernah pentas. Atau memilih tidak pentas. Kenapa? Saya tak akan mampu membeli semua peralatan dan kebaikan yang disediakan untuk saya. Jarang sekali ada H-10 proses latihan teater sudah bisa mengamankan gedung untuk kepentingan latihan. Lampu, computer, alat musik, proyektor semua standby pada posisinya dengan ruang terkunci. Artinya itu menjadi hak penuh kami sampai dengan pementasan.

Kemewahan dan kemanjaan luar biasa, meski gedung kami sekelas plus-plus balai serba guna kampung. Dari mana semua ini bisa berlangsung? Direktur Rumah Banjarsari, Zen Zulkarnaen, yang juga berperan sebagai pimpinan produksi sering menyebut dengan istilah kekuatan jaringan. Mengapa kami bekerja dengan pola berjejaring? Pertama, menyadari keterbatasan sekaligus menyadari potensi. Kedua, Seni di seberang situ boleh jadi beraroma bisnis murni, atau yang mengadopsi pola pernikahan kekuatan perkumpulan agraris dengan bisnis, tetapi kami memilih untuk membangun kekuatan agraris yang kami kawinkan dengan edukasi manajemen administratif dan kreatif.

Bahwa orang menonton musti berdonasi untuk menakar sejauh mana usaha menghargai diri sendiri. Apakah ini mutlak? Nggak juga. Tak ada sesuatu yang mutlak. Semua bisa ditawar pada porsi dan posisinya. Bisakah sebuah tontonan berbayar? Bisa. Bisakah tontonan digratiskan? Bisa. Semua bergantung pada visi dasar yang hendak dituju dengan proses kesepakatan yang adil dan setara.

Sampai bertemu di Rumah Banjaransari Jln Syamsurizal No 10 Surakarta 22 Juni 2024 mulai 19.30 WIB.

*Sutradara, Aktor, Sastrawan

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles