21.4 C
Indonesia
Sabtu, Juni 22, 2024
spot_img

William dan Lepasnya Astra, Kisah yang Belum Usai

Oleh: Nasihin Masha*

Saya punya perhatian tentang kejatuhan William dan lepasnya Astra dari keluarga Soeryadjaya. Padahal saya bukan wartawan ekonomi. Saya menghabiskan waktunya sebagai wartawan politik. Karena itu, ketika Metta Dharmasaputra menulis di akun facebooknya bahwa akan ada peluncuran buku otobiografi William Soeryadjaya, saya membuat komentar untuk minta diundang. Kang Metta memang orang baik hati, dia memerintahkan anak buahnya untuk mengirim undangan ke saya. Maka dengan antusias saya menghadirinya.

Antusiasme saya terhadap buku ini ada tiga sebab. Pertama, ini buku otobiografi, jadi buku yang otoritatif. Kedua, buku ini ditulis oleh Ramadhan KH. Buku-buku biografi Ramadhan selalu bertutur dari sudut sang tokoh dan apa adanya. Jadi walaupun ditulis oleh Ramadhan tapi persepektifnya adalah dari sang tokoh. Latar belakang Ramadhan sebagai sastrawan membuat buku-bukunya mengalir dan enak dibaca, seperti otobiografi Soeharto, Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santoso, dan lain-lain. Ketiga, buku ini sudah tertahan hampir 21 tahun untuk terbit, bahkan butuh tiga tahun untuk proses penerbitannya. Pasti ada sesuatu bukan?

Kebetulan saya sudah memiliki dua buku tentang William, atau yang lebih akrab disama sebagai Om Willem. Pertama, buku berjudul William Soeryadjaya, Kejayaan dan kejatuhannya; Studi Kasus Eksistensi Konglomerasi Bisnis di Indonesia. Buku ini terbit Desember 1993, jadi pas saya satu tahun menjadi wartawan. Buku ini ditulis oleh tiga, atau bahkan empat, wartawan senior. Mereka adalah Amir Husin Daulay, Banjar Chaeruddin, B Wiwoho, dan Marah Sakti Siregar. Amir memang lebih dikenal sebagai aktivis dan demonstran. Banjar dan Wiwoho adalah wartawan ekonomi, yang lama berkutat di bidang keuangan dan perbankan. Banjar pernah menjadi pemimpin redaksi Bisnis Indonesia. Wiwoho adalah wartawan Suara Karya yang berkubang di Istana Presiden dan Kementerian Keuangan serta Bank Indonesia. Marah Sakti adalah wartawan Tempo dan kemudian Editor, yang menekuni politik dan ekonomi. Buku yang mereka tulis ini hanya satu tahun setelah Bank Summa dilikuidasi.

Kedua, buku biografi berjudul Man of Honor; Kehidupan, Semangat dan Kearifan William Soeryadjaya. Buku ini ditulis Teguh Sri Pambudi dan Harmanto Edy Djatmiko. Keduanya adalah wartawan majalah ekonomi SWA. Buku ini terbit Desember 2012 dengan peluncuran yang mewah dan meriah di Jakarta Convention Center. Sedangkan buku ketiga, yang kemarin, Rabu, 12 Juni 2024, diluncurkan, berjudul Semangat Hidup & Pasrah Kepada Tuhan; Memoar William Soeryadjaya Seperti Diceritakan kepada Ramadhan KH. Peluncuran buku berlangsung sederhana. Walau diadakan setelah magrib, namun tak disediakan makan malam. Hanya ada kueh-kueh. Tempatnya pun bukan di hotel atau tempat mewah lainnya, tapi di Taman Ismail Marzuki, tepatnya di Teater Jakarta. Undangan juga relatif lebih terbatas dibandingkan dengan buku Man of Honor. Acaranya digabung sebagai tribute untuk Om Willem dan Ramadhan. Salah seorang yang cukup dekat dengan keluarga Soeryadjaya, sebelum acara dimulai, dalam obrolan yang santai, berujar, “Mengapa buku ini diluncurkan di fase Pak Lurah mau turun?” Mungkin itu bahasa halusnya, bahasa terangnya adalah mengapa buku ini diluncurkan di fase transisi dari pemerintahan Jokowi ke pemerintahan Prabowo? Nama Prabowo ini layak diberi garis tebal, sepertinya.

Jika dua buku lainnya adalah buku biografi, sehingga fokusnya tentang perjalanan hidup sang tokoh, maka buku pertama benar-benar mengulas tentang kejatuhan William dan lepasnya Astra. Di halaman 21, di bab pertama, ada pertanyaan yang cukup panjang, yang menjadi pertanyaan banyak orang hingga kini: Apa sesungguhnya penyebab kejatuhan William? Betulkah murni karena mismanagement di Grup Summa? Gara-gara kesalahan kalkulasi dalam mengembangkan grup usaha? Atau dia yang selama ini dianggap sebagai salah satu penguasaha yang suka mengambil jarak dengan kekuasaan, menjadi korban permainan politik? Betulkah karena ada persaingan bisnis lalu terjadi hostile take over? Ada konspirasi untuk mendepaknya dari dunia konglomerasi Indonesia?

Pertanyaan itu lalu berusaha dijawab di bab yang sama. Ada empat faktor. Pertama, kelemahan pribadi. Kedua, kelemahan manajemen keluarga. Ketiga, desakan kondisi (perubahan) ekonomi. Keempat, desakan kondisi (perubahan) politik. Namun, ulasannya tetap tak cukup mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Di buku Man of Honor, ada dua bab yang mengulas tentang kasus Summa dan lepasnya Astra. Di buku yang sangat tebal ini, total ada 691 halaman, hal itu diulas di bab 22 (Biar Oom yang Pikul) dan 23 (Atas Nama Kehormatan). Namun tak ada sesuatu yang baru. Karena itu, orang tetap menanti jawaban yang sejati. Maka di buku otobiografi ini orang berharap akan mendapatkan jawaban. Seolah ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan segera, maka ihwal itu langsung ditempatkan di bab pertama: Tamu Lewat Tengah Malam. Ada 11 halaman. Ringkas saja. Namun fakta-faktanya, sesuai yang ia alami dan ia ketahui, langsung ia sampaikan.

Pada Jumat, 11 Desember 1992, pukul 00.05, lewat tengah malam ada orang yang bertamu: Sofjan Wanandi, Jansen Wiraatmadja, dan Theodore “Teddy” P Rachmat. “Apakah mereka pelaku, orang suruhan, pemburu rente atau pencari keuntungan yang mengatasnamakan kekuasaan orang lain, ataukah penolong?” kata Om Willem. Beberapa waktu kemudian, ia mengetahui bahwa 2 kilometer dr rumahnya di Jl Diponegoro, maka di lantai 17 Wisma Indocement, di Jl Soedirman, para taipan berkumpul “menunggu hasil perjuangan Sofjan dan kawan-kawan. Informasi ini membantu memperjelas peranan Sofjan dan kawan-kawan. Tinggal yang masih misterius adalah siapa di belakang para taipan itu yang mau bersabar menunggu sampai janari (tengah malam)”. Para taipan itu adalah Om Liem, Prajogo Pangestu, dan Usman Aadmadjaja. Jika Sofjan adalah wakil para taipan dan Jansen adalah wakil Prajogo, maka “peran Teddy P Rachmat jadi pertanyaan”. Teddy adalah keponakan Om Willem sehingga penjaga rumah mau membukakan pintu rumah yang tuan rumahnya sudah tidur dan harus dibangunkan. Namun peran yang dimaksud Om Willem tentu bukan sekadar ponakan dan omnya.

Akhirnya, Om Willem takluk untuk menjual Astra karena “desakan, bahkan, bernada paksaan” oleh mereka. Lagi pula, katanya, itu terjadi pada pukul 01.00 dinihari, sehingga ia dalam kondisi tidak bisa menghubungi siapa-siapa, khususnya Prof Sumitro Djojohadikusumo. Karena sebelumnya, Om Willem sudah sepakat dengan Sumitro untuk menggabungkan Bank Universal dengan Bank Summa sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan di Bank Summa. Sumitro adalah ayah Prabowo Subianto, yang kini telah terpilih menjadi presiden. “Saya terpaksa menyerah kepada tamu tengah malam itu,” katanya.

Om Willem mengatakan, “Astra sebagai blue chips company memang menjadi incaran kalangan yang berkekuatan besar sekali”. Kasus Bank Summa, katanya, hanya “digunakan sebagai celah untuk menembus “benteng” Astra dan langsung mendudukinya. Tentu saja saya hanya mengelus dada.” Lebih lanjut Om Willem mencatat, “Adapun desakannya disertai embel-embel “kalau dokumen jual-beli itu tidak saya tanda tangani saat itu, esok paginya Bank Summa akan dilikuidasi”. Lalu, “Mereka juga mengatakan, keputusan isi dokuemn jual-beli itu sudah disiapkan oleh seorang pejabat penting. Apa peranan pejabat penting itu, saya tidak tahu.” Namun kesepakatan jual-beli Astra yang dilakukan pada 11 Desember 1992 lewat tengah malam, tetap tak menghentikan apa yang ia khawatirkan, karena tanggal 14 Desember 1992 Bank Summa tetap dilikuidasi juga. Jadi, tak sesuai dengan ancaman dan janji pada tengah malam tersebut.

Itulah fakta-fakta menarik tentang topik ini. Tentu masih banyak yang menggantung dan belum terjawab tuntas. Karena itu muncul rasan-rasan bahwa masih ada hal-hal yang belum diungkap dari naskah aslinya. Betulkah?

Catatan Akhir yang dibuat Metta Dharmasaputra (Dilema Kasih Tanpa Batas: The Untold Story), halaman 433-487 atau 54 halaman, berusaha memberikan penjelasan tentang keterangan Om Willem yang 11 halaman tersebut. Katanya, hanya 50 persen yang bisa ditulis di Catatan Akhir tersebut. Tak semuanya bisa diungkapkan. Mengapa? Pada perspektif dan poin apa? Namun jika kita baca tulisan 54 halaman tersebut, maka Metta sedang membuat bingkai terhadap testimoni Om Willem. Atau semacam pemaknaan terhadap fakta-fakta yang diungkapkan. Mengapa pemaknaan? Karena Om Willem hanya bisa membuat dugaan-dugaan tentang kisah di balik peristiwa tersebut. Misalnya tentang posisi dan peran Sofjan, Jansen, dan Teddy. Begitu juga tentang Om Willem. Nah, pemaknaan yang dibuat Metta ini menekankan tentang aspek perbedaan pendapat di dalam keluarga, kondisi perubahan ekonomi, dan masalah mismanajemen. Juga tentang bantahan kemungkinan adanya aspek politik maupun kemungkinan hostile take over. Pada titik ini, kita butuh penjelasan dari Edward Soeryadjaya atau Judith Soeryadjaya.

Dari membaca buku-buku tersebut persoalannya memang kompleks seperti yang diulas buku pertama. Lingkaran pertama adalah keluarga. Di situ ada Om Willem dan istri, lalu Edward dan Edwin, juga Joice-Judith. Di lingkar kedua ada para taipan yang menjadi teman sekaligus kompetitor bisnis, seperti Om Liem, Sofjan, Prajogo, Usman, dan lain-lain. Gambaran jelasnya terlihat dari nama-nama pembeli saham Astra. Lingkaran ketiga ada keluarga Cendana, yang butuh penjelasan jernih ada-tidaknya kaitan mereka. Lingkaran keempat, yang berada di ring paling luar dan bersentuhan karena coba ditarik Om Willem adalah Sumitro dan Hashim Djojohadikusumo. Berikutnya adalah ihwal tight money policy, perubahan lingkungan politik, dan manajemen bisnis.

Kisah terang kasus Summa dan Astra masih belum berakhir. Bahkan kisah ini layak menjadi miniseri film.

*Mantan Pemred Harian Republika

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles