22.4 C
Indonesia
Jumat, Juni 28, 2024
spot_img

Yogyakarta dan Pintu Gerbang Kekuasaan

Oleh: Wahjudi Djaja*

Yogyakarta adalah gerbang penting peradaban. Energi yang keluar melalui gerbang ini sering menentukan perjalanan bangsa. Ini bukan klaim kosong tetapi nyata dan faktual. Sejak Indonesia merdeka sampai 79 tahun usianya, kota kecil dengan rentang panjang sejarah ini memainkan peran penting dan menentukan.

Sejak Ngarsa Dalem IX pasang badan untuk kelangsungan eksistensi NKRI pada 4 Januari 1946 sampai Ngarsa Dalem X menerima Pisowanan Ageng pada 20 Mei 1998, peran Yogyakarta tak bisa dihapus dari sejarah modern Indonesia. Dalam banyak peristiwa berskala nasional, ide dan gerakan awal sering berawal dari jantung peradaban Mataram ini.

Rahim Peradaban

Banyak kota yang lebih tua dan maju dibanding Yogyakarta. Tak sedikit kota yang melahirkan tokoh dan menyimpan catatan peristiwa besar selain Yogyakarta. Tetapi peran kesejarahan kota ini tak terduakan apalagi tergantikan. Narasi kebesaran Mataram masih menjadi perbincangan tidak saja kaum akademisi sejarah dan politik, tetapi juga rakyat kebanyakan. Jejak kebesaran dan pengaruh gaya kepemimpinan Mataram tak jarang menjadi referensi siapapun yang bicara tentang Indonesia. Bukan hanya karena keberadaan Istana Gedung Agung tetapi peran kota ini dalam menyelamatkan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia saat berada di titik kritis sungguh monumental.

Makam dan peninggalan para penghulu sejarah Mataram tak henti diziarahi rakyat dari berbagai kalangan. Kota ini seolah menjadi rahim peradaban, dari zaman ke zaman karena melahirkan para pemikir, penyair, filsuf, sastrawan, seniman, budayawan yang tiada lelah mewarnai cakrawala kebudayaan dengan gagasan dan karya yang brilian.

Energi peradaban Yogyakarta tak pernah padam dan terus menyala menerangi perjalanan bangsa. Ada beragam pusat energi yang tiada henti menawarkan pembelajaran dan perenungan. Ada Kotagede, Keraton Yogyakarta, Kauman, Pura Pakualaman, Kotabaru dan Malioboro, yang masing-masing selain memiliki rekam jejak sejarah yang panjang dan unik, juga menjadi icon atas wajah peradaban Yogyakarta.

Konfigurasi pusat-pusat energi itu kemudian dibingkai oleh kedudukan kota ini sebagai pusat pendidikan. Lahirlah tata warna peradaban yang dilukis oleh anak-anak bangsa dari penjuru Nusantara. Mereka tidak saja mempelajari beragam sisi keilmuan tetapi juga menyerap energi keyogyakartaan. Bisa dilacak, hampir semua narasi dan karya besar yang menjadi wacana di panggung utama nasional kebanyakan berasal dari tokoh yang pernah besar, tinggal dan bersenyawa dengan atmosfer Yogyakarta.

Memaknai Pisowanan Ageng

Lazim dilakukan oleh anak untuk sowan, sungkem, ngabyantara kepada Ibu, apalagi saat anak menghadapi masalah. Ibu adalah sumber kasih sayang, kearifan dan pengalaman. Pulang adalah kata dan prosesi paling intim dan sakral bagi siapapun yang lama berjuang di perantauan.

Tak banyak yang tahu, setelah berdiri 20 Mei 1908 di STOVIA Jakarta, Budi Utomo menggelar kongres di Yogyakarta pada 3-5 Oktober 1908. Di gedung Kweekschool (kini SMAN 11) para tokoh pergerakan bangsawan terpelajar dari berbagai kota berdebat mencari formula terbaik bagi pergerakan. Saat awal kemerdekaan, para pemimpin juga boyongan pindah ke Yogyakarta mulai 4 Januari 1946. Indonesia harus diselamatkan dari aneksasi Belanda dan Yogyakarta menjadi perisai tangguh untuk itu. Saat menghadapi masalah internal para pemimpin TKR sampai era 1950-an senantiasa ke Semaki untuk sowan mengadu kepada Panglima Besar Soedirman yang bersemayam di Kusuma Negara.

Jika beragam peristiwa di atas adalah urusan elite politik, maka pada 20 Mei 1998 fenomena yang terjadi menjadi milik rakyat. Secara bergelombang mahasiswa dan rakyat bergerak dari penjuru Yogyakarta menuju alun-alun utara untuk sowan sultan. Mereka menghadap raja sebagai representasi khalifah, wakil Tuhan di muka bumi. Bila ada ungkapan manunggaling kawula-Gusti momentum itu sangat kentara untuk dilihat. Sepanjang jalan rakyat menyediakan hidangan bagi barisan demonstran. Kekuasaan Orde Baru yang mampat telah menegasikan keadilan sosial. Pisowanan Ageng pun menjadi katalisator atas segala rasa dan aspirasi rakyat. Sehari kemudian Soeharto turun dari kekuasaan dan mulailah era Reformasi.

Pisowanan adalah mekanisme budaya yang ditempuh manakala saluran resmi perwakilan rakyat tak mampu menjalankan fungsinya. Tradisi kerajaan mengenal pépé, menghadap raja dalam penantian penuh ketakpastian. Saat kondisi bangsa sedang tak baik-baik saja, justru selepas kontestasi Pemilu 2024, kita berharap elite politik berlapang dada melihat realita. Jangan sampai rakyat harus menggelar tradisi pépé atau Pisowanan Ageng hanya karena ingin didengar aspirasi dan keluh kesahnya. Atau Yogyakarta harus menjalankan peran peradabannya kembali? Kita tunggu sejarah mencatatkan kesaksiannya.

Ksatrian Sendaren, 30 Mei 2024

*Wahjudi Djaja, S.S., M.Pd., dosen STIEPAR API Yogyakarta, Budayawan, Ketua Umum Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kasagama).

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles