19.4 C
Indonesia
Minggu, Juni 16, 2024
spot_img

Catatan 26 Tahun Gerakan Reformasi: Membaca Goresan Tangan GM Sudarta

Oleh: Wahjudi Djaja*

Prinsip dasar yang melatari munculnya gerakan reformasi adalah pembatasan kekuasaan presiden. Praktik kekuasaan Presiden Soeharto sejak 1967 sampai 1997 dinilai menjadu sebab tertutupnya kran demokratisasi dan pemenuhan hak sipil terkait penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Stabilitas yang terjaga–yang berbasis militeristik–menjadikan kehidupan politik monoton, beku dan abai harkat martabat manusia.

Darah di Kawat Berduri

Tepat sekali cara kartunis GM Sudarta dalam membahasakan dinamika perjuangan melawan rezim Orde Baru. Dalam judul “Setangkai Bunga Untuk Martir Reformasi (18/11/1998), Mas GM menghadirkan potret kekuasaan dan dampak yang ditimbulkannya akibat perlawanan yang menyertainya. Kawat berduri memang barikade andalan penguasa saat ada perlawanan rakyat atau demonstrasi mahasiswa.

Kawat berduri adalah representasi kekuasaan yang menutup kanal aspirasi. Lembaga perwakilan rakyat dalam waktu lama gagal memerankan diri sebagai mata, telinga dan mulut rakyat. Menentang dan menolak program pemerintah, bisa dicap sebagai pembangkang yang harus dipukul atau mininal dijauhkan dari garis demarkasi kekuasaan. Dampak lebih jauh bisa berbentuk cegah dan tangkal (cekal) sampai dibekukan hak kewarganegaraannya. Kelompok Petisi 50, misalnya, masing-masing anggotanya tak bisa hidup layak meski sekedar menghadiri undangan pernikahan. Para aktivis atau kalangan intelektual dan seniman atau sastrawan, bisa mendadak dibubarkan acaranya dan ditangkap tanpa proses peradilan.

Kekuasan kuat berdiri di seberang barikade kawat berduri. Sedang rakyat, jangankan menyentuh, mendekat pun tak bakalan bisa. Dalam enam kali pemilihan umum, rezim Orde Baru berhasil menata kekuasaan di segala lini sampai level terbawah di desa. Pancasila menjadi asas tunggal, partai politik hanya pendamping Golkar, dan ABRI yang memiliki peran sentral melalui Dwifungsi. Di level bawah kita kenal massa mengambang, sedang kebebasan mimbar kampus diberangus.

Berani bersuara berarti siap menerika segala resikonya. Sampai seorang Marsinah–buruh di Sidoarjo–harus meregang nyawa karena menyuarakan kepentingan buruh. Penyair Wiki Thukul, tak tahu kemana rimbanya. Budaya tandingan merebak, asal pimpinan ormas atau parpol bersuara kritis dan tak disukai pemerintah, segera didesain operasi intelejen untuk membelah dan mengkooptasinya. PDI dibawah Megawati harus merasakan itu saat awal memegang tampuk pimpinan pasca Munaslub 1993 hingga berujung kerusuhan 27 Juli 1996.

Momentum datang seiring krisis. Pasca Pemilu 1997 akselerasi perubahan berlangsung cepat. Krisis moneter merembet menjadi krisis politik dan krisis kepercayaan pada kepemimpinan nasional. Gelombang demonstrasi mahasiswa dan rakyat bak air pasang, berantai dari satu kota ke kota lain. Kerusuhan berbau rasial pun meletus di Jakarta dan beberapa kota besar. Empat mahasiswa, Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie gugur saat menyuarakan reformasi. Barikade kawat berduri berlumuran darah. Itulah pesan yang hendak diangkat GM Sudarta. Kita memegang kuat kekuasaan, tetapi darah kita mengucur karenanya. Dan 26 tahun silam, kekuasaan Orde Baru tumbang dalam balutan misteri, sampai detik ini.

Antara Kesia-siaan dan Ketakpastian

Sudah 26 tahun peristiwa itu terjadi. Kekuasaan presiden berhasil dibatasi hanya untuk dua kali masa jabatan setelah UUD 1945 diamandemen MPR. Pemilu digelar secara langsung termasuk dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, juga pilkada untuk memilih gubernur, bupati dan walikota. Desentralisasi menguat–bahkan melebar– tak hanya urusan otonomi daerah, tetapi juga pemekaran wilayah. Dari 27 propinsi, kini menjadi menjadi 38 buah.

Yang perlu digaris bawahi dan menjadi catatan penting adalah semakin maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dulu menjadi salah satu agenda reformasi. Sasaran bidikan adalah pada keluarga Cendana. Tetapi bagaimana bisa praktik KKN seolah mengiringi derap laju otonomi daerah? Tidak saja melibatkan ratusan kepala daerah yang tertangkap KPK tetapi juga kalangan menteri dan anggota DPR. Bahkan kepala desa, direktur Bumdes dan level pimpinan pemerintahan terbawah tak luput dari perilaku korup.

Jika demikian faktanya, lumrah muncul pertanyaan: sia-siakah gerakan reformasi yang telah menelan korban jiwa? Entahlah. Orde Baru adalah potret terbaik yang mestinya menjadi cermin bersama. Bahwa kekuasaan yang mempribadi cenderung otoriter dan absolut. Saat hukum dengan segala piranti dan kelembagaannya dikebiri dan dikangkangi, maka yang muncul adalah ketakpastian.

Sebagai renungan bersama, kita baca ulang sajak WS Rendra berikut.

Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia
(W.S Rendra)

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Kelakuan muncul dari sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah

O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil!
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya

Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Air mata mengalir dari sajakku ini.

(Sajak ini dibuat di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1998 dan dibacakan Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998)

Kita sama-sama mencintai Indonesia. Masing-masing kita memiliki peran dan tanggung jawab untuk menjaga eksistensi dan integritasnya. Tak elok jika kita mengulangi kesalahan yang sama dengan melakukan praktik kehidupan yang menegasikan etika dan moralitas. Tidak kasihankah kita kepada para penghulu sejarah, para pendiri bangsa, para pahlawan dan para martir yang telah susah payah mendesain bangun kenegaraan yang adil dan beradab?

Salam Reformasi!

Ksatrian Sendaren, 22 Mei 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles