22.4 C
Indonesia
Minggu, Mei 12, 2024
spot_img

Hasan M Ambary, M Yaser Arafat dan Nisan yang Bicara

Oleh: Wahjudi Djaja*

Dua hari Komunitas Kandang Kebo menggelar Sarasehan dan Blusukan, Sabtu-Minggu (24-25/2/2024). Mengikutinya seperti sedang dibukakan jembatan penghubung antara teks dengan konteks sejarah–hal yang lama saya cari dan nantikan keterkaitannya–sekaligus melakukan klarifikasi atas gegap gempita pernisanan akhir-akhir ini, dengan dua pendekatan sekaligus, yakni arkeologis dan antropologis (budaya material). Berikut catatan ringan sebagai pengingat dan penghargaan atas kerja budaya yang guyup dan membumi ini.

Ambary Alas Pemahaman

Muhammad Yaser Arafat, dosen muda UIN Sunan Kalijaga yang menjadi narasumber, meletakkan dasar pembicaraannya dengan pendekatan antropologi budaya material. Keberadaan masyarakat pada suatu kurun waktu bisa dilacak dari produk budaya yang dihasilkan. Wujud nisan, tentu saja, tak bisa dilepaskan dari konteks kultural sosiologis masyarakatnya. Secara sadar dia–beberapa kali disebut–membedakan dengan pendekatan arkeologi terutama peran Hasan Muarif Ambary, arkeolog yang sering menjadi rujukan saat orang meneliti jejak masa silam.

Blusukan Komunitas Kandang Kebo di makam Kiai Demak Ijo

Dalam kajian pernisanan–sesuai dengan tema sarasehan Dari Kampung Arwah: Tentang Nisan Makam di Jawa–Ambary (1984) membaginya ke dalam empat kategori. Ke empatnya adalah tipe Aceh, tipe Demak-Troloyo, tipe Bugis-Makassar, dan tipe lokal. Lulus dari Jurusan Arkeologi UI (1967), Ambary meraih doktor dari Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales (EHESS) Paris tahun 1984 dengan disertasi tentang studi makam-makam Islam Kuno di Indonesia. Arafat menaruh perhatian pada nisan model Demak-Troloyo, dua jejak yang menerakan pertautan kental antara budaya klasik Hindu dengan Islam pasca Demak.

Karakter nisan Demak-Troloyo (Sambung Widodo dalam JUSMA Februari 2023) antara lain bercirikan: 1) bentuk dasarnya segi empat pipih, kepala nisan berundak berbentuk mahkota, berhiaskan tumpal pada bagian badan-kaki nisan, terbuat dari batu andesit dengan tinggi 0,3-1 m. 2) Bentuk dasarnya bulat, kepala nisan lengkung menyatu dengan badan nisan ke bawah makin mengecil, berhiaskan pelipit pada bagian kaki nisan, terbuat dari batu andesit dengan tinggi 0,3-1 m. 3) Bentuk dasarnya pipih seperti kurawal, menyerupai lengkung kala makara, berhiaskan pilin atau tanaman pada bagian nisan, terdapat hiasan tumpal yang digayakan pada bagian bawah nisan, dan terbuat dari batu andesit dengan tinggi 0,3-1 m.

Hasan Muarif Ambary (Kompas, 13/3/1995)

Nisan tentu tak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang berkembang di masyarakat pada zamannya. Dalam wawancara panjang dengan Kompas (12/3/1995) Ambary menegaskan keterhubungan antara budaya Hindu dan Islam.

Kebudayaan Islam Nusantara itu kan yang saya tuangkan dalam pidato pengukuhan saya Bianglala Penulisan Sejarah Islam Indonesia. Di dalamnya saya hanya bicara tentang Islam dari segi kebudayaan. Yang menarik adalah ada kesamaan ciri-ciri budaya antara penduduk Nusantara dan konsep Islam. Itu yang menyebabkan terjadinya pertalian. Itulah keluwesan Islam di Indonesia. Agama dijalankan secara murni, kebudayaan tetap dipertahankan secara tidak bertentangan.

Di Masjid Agung Cirebon tidak ada menara. Rupanya menurut naskah, waktu itu memang Sultan Gunung Jati melarang adzan di atas menara, karena sultan atau raja-raja ada di bawah. Menara masjid itu kan sebetulnya tidak ada. Bahwa di Masjid Kudus ada menara, itu kan semula bukan menara. Fenomena Islam Indonesia mengemas tradisi lokal menjadi Islam dan sangat Indonesia.

Lebih dari sekedar penanda atau batu berhias ornamen dan ukiran, nisan juga menyimpan beragam simbol, inskripsi, informasi dan gaya yang–jika dibaca dengan teliti oleh ahlinya–bisa menjadi titik tolak saat kita mencoba membuka kisah masa lalu, baik menyangkut tokoh, tempat maupun peristiwanya. Tentu, untuk membangun narasi dan deskripsi sejarah tak hanya berbekal nisan semata tetapi perlu melibatkan dan mempertimbangkan dimensi ilmu yang lain seperti sejarah, epigrafi, antropologi dll. Itulah kenapa sejarawan Sartono Kartodirdjo mengintrodusir pendekatan multidimensi dalam merekonstruksi sejarah.

Dalam kaitan itu, menarik apa yang disampaikan epigraf kenamaan MM Soekarto K Atmodjo (Kompas, 15/5/1994).

Epigrafi bukan hanya menyangkut masalah historis, tetapi juga latar belakang. Dulu kalau orang menulis sejarah terbatas pada mencari silsilah para raja. Sekarang bukan itu lagi. Memang silsilah baik tetapi juga harus dipelajari latar sosial, ekonomi dan budaya masing-masing. Dalam hal prasasti, bukan hanya raja yang ditulis dalam prasasti tapi juga mengenai rakyat kecil.

Kebetulan di Palembang ditemukan prasasti dan kebetulan hanya memuat sapata atau kutukan. Saya katakan kepada para mahasiswa saya, sebenarnya prasasti tidak hanya mengandung sapata. Sapata ditulis karena rakyat di suatu daerah tidak berbakti kepada negara.

Kesinambungan atau keberlanjutan sejarah, menurut Kuntowijoyo (2001) merupakan salah satu karakter atau penanda saat kita membahas dimensi waktu. Dalam konteks itu, bisa dipahami sepenuhnya adanya akulturasi berdurasi peradaban dalam kehidupan bangsa ini. Ada benang merah keterkaitan atau keterpengaruhan sejarah dengan periode sebelumnya. Jika kemudian Arafat mengangkat nisan pasca Demak-Troloyo, adalah sebuah langkah tepat yang patut diapresiasi mengingat perkembangan nisan yang selalu mengikuti dinamika masyarakat.

Nisan-nisan yang Bicara

Dalam tiga kesempatan–selain membaca buku dan tulisannya–penulis menyimak cara Arafat mengidentifikasi nisan. Ketiganya adalah di kompleks makam Kiai Demak Ijo (Banyuraden, Gamping), makam Somakaton (Margokaton, Seyegan), dan makam Kiai Panji di Kepanjen (Trimulyo Sleman). Kebetulan ketiganya dilakukan bertepatan dengan momentum bulan Ruwah (Syaban) sehingga penduduk di sekitar makam bisa terlibat secara aktif dalam “Kuliah Pernisanan”.

Narasumber sarasehan Komunitas Kandang Kebo

Perjalanan hidup yang cukup fenomenal dilakukan Muhammad Yaser Arafat. Lahir dalam tradisi Langkat (Sumut) tetapi Jawa mengalir dalam darahnya. Kembali ke Bumi Mataram dan menyelesaikan Program Studi S1 Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga pada 2007 dan S2 tahun 2015. Di sela-sela waktu itulah fokus dan lakunya mendekatkan pada jejak sejarah para penghulu sejarah Mataram. Lahirlah sebuah buku yang kini akrab bagi para pecinta dan pemerhati kijing. Nisan Hanyakrakusuman: Batu Keramat dari Pesarean Sultanagungan di Yogyakarta.

Gaya penyampaian rekonstruksionisme yang dia lakukan mempermudah khalayak memahami apa dan siapa yang ada di hadapannya yang hanya menyisakan nisan. Pembabakan dan periodisasi nisan dijadikan batas untuk melakukan identifikasi dan klasifikasi. Arafat membangun kebenaran berbasis ilmu yang meletakkan sumber, jejak, dan fakta sebagai ujung pencarian.

Bergerak jauh dari soal mistis dan demit, Arafat membumikan sejarah dan arkeologi sebagai sesuatu yang ilmiah, bisa dipelajari siapa saja dan–oleh karenanya–dia ingin setiap orang bisa menjadi “ahli kubur” dalam pengertian yang sebenarnya. Selalu membuka diri untuk dialog tanpa harus dibatasi oleh sekat egoisme dan aliran, Arafat memberikan ruang bagi perbedaan pembacaan dan penafsiran. Kuncinya ada pada kesetiaan terhadap sumber dan rujukan.

Ruwahan Ageng Kiai Panji di Kepanjen Trimulyo Sleman

Ruang dialog perlu digaris bawahi mengingat di masyarakat muncul beragam klaim dan pendapat tentang keberadaan sebuah makam atau nisan. Jika ruang itu dibuka dengan tetap mengedepankan kaidah ilmiah, kebenaran akan ditemukan bersama. Muara yang dicari adalah bersama-sama menempatkan leluhur sebagai pilar utama pembuka peradaban, tanggung jawab moral intelektual kita sebagai penerus untuk merawat dan memaknainya.

Basis sebagai akademisi yang mengampu Sosiologi Agama memberinya ruang yang lebih luas dan fleksibel untuk membaca nisan dan makam. Pada bulan Ruwah dan Suro, masyarakat Jawa memiliki tradisi yang kuat dan berkaitan dengan keberadaan jejak sejarah. Tak aneh siang malam Arafat–selepas aktivitas di kampus–harus melayani keinginan masyarakat untuk bertegur sapa dengan leluhur melalui kajian.

Arafat secara sadar menghadirkan teks ilmu pengetahuan. Konsekuensi logisnya adalah apa yang dia sampaikan terbuka untuk didiskusikan bahkan didebat. Dalam bingkai akademis hal itu jamak terjadi dan dilakukan. Sulit menemukan koherensi jika yang disodorkan adalah hasil penerawangan, impen, atau bisikan.

Maka menarik untuk mengetahui lebih jauh bagaimana leluhur kita menyimpan ilmu, pesan dan sejarahnya melalui budaya material yang tersisa. Dan Arafat, dalam beberapa hal, sangat diharapkan bisa memerankan diri menjadi “duta kabudayan” yang mampu mentransformasikan berita masa lalu menjadi ilmu pengetahuan dalam konteks kekinian.

Ksatrian Sendaren, 5 Maret 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama), Anggota Komunitas Kandang Kebo

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles