20.4 C
Indonesia
Minggu, Juni 16, 2024
spot_img

Wahidin Sudirohusodo: Wong Agung Mlati yang Peduli Nasib Negeri

Oleh: Wahjudi Djaja*

Dikenal sebagai bangsawan berwawasan maju, Wahidin Sudirohusodo tak hanya menginspirasi kaum intelektual seperti Sutomo, Tjipto, dll tetapi juga memberi teladan bagaimana memberikan solusi atas permasalahan (pendidikan) kaum Bumiputera (baca: rakyat). Kuat memegang teguh tradisi namun rela berjalan mengelilingi tanah Jawa mencari dan mengumpulkan uang untuk membantu biaya pendidikan anak-anak pribumi.

Kolonialisme, baginya, hanya bisa dilawan dengan perubahan mindset. Bahwa zaman menuntut ide dan strategi baru. Anak muda harus diberi ruang bukan dalam kerangka nepotisme, tetapi kompetensi dalam kemajuan. Dari sanalah kesadaran bisa digerakkan. Tidak saja berperan sebagai mentor, Wahidin juga memayungi aktivis muda yang gelisah menatap masa depan bangsa, apapun pengertian bangsa saat itu. Dia berhasil. Dan bangsawan baru jebolan STOVIA mampu menangkap gagasan yang diinisiasi Wahidin hingga lahir organisasi pergerakan nasional pertama Budi Utomo.

Wahidin Sudirohusodo, lahir pada 7 Januari 1852 di Mlati, Sleman, DIY. Wafat pada 26 Mei 1917. Makamnya di tepi jalan Magelang utara terminal Jombor Mlati Sleman. Di situ pula bersemayam Radjiman Wedyodiningrat (Ketua BPUPKI), Suradji Tirtonegoro (namanya untuk RS Tegalyoso) dan Basuki Abdoellah (pelukis kampiun), yang semua masih saudara.

Bila bicara “blusukan” dialah kampiunnya. ‘Kemajuan’, menjadi kata kunci yang menggerakkannya keliling tanah Jawa, mendekati wong cilik, menyambangi bangsawan untuk mengumpulkan dana, ‘studiefond’.

Maju dan cerdas dalam perspektif kolonial, tak menjadikannya Barat. Gagasannya disambut para mahasiswa STOVIA. “Suaranya yang jelas dan tenang membuka hati dan fikiran saya. Ia membawa gagasan-gagasan baru dan membuka dunia baru yang meliput saya yang terluka dan sakit,” tulis Soetomo.

Pribadi dan laku Wahidin yang seorang dokter, priayi, suka bergaul dengan rakyat mampu menginspirasi kebangkitan nasional. Fokus perjuangannya pada dua hal: mencerdaskan kehidupan bangsa dan memupuk kesadaran kebangsaan. Baginya, kecerdasan adalah kunci perjuangan menghadapi penjajahan.

Peletakan batu pembangunan makam Wahidin tahun 1953 (Foto: DPAD DIY)

Generasi 1908 adalah generasi pertama Republik yang mampu menangkap tetanda zaman. Mereka menjadi bangsawan baru, bangsawan terdidik, yang berkompeten dan memiliki kesadaran kebangsaan. Bahwa pendidikan adalah dinamit bagi kolonialisme, kata Mahaguru Sejarah Sartono Kartodirjo. Dan tema pertama yang diangkat adalah identitas, hal yang baru pada Generasi 1928 dikonkretkan melalui Ikrar Pemuda. Bahwa identitas bagi bangsa yang hendak didirikan bernama Indonesia yang mampu memayungi keragaman etnis dan kultural. Indonesia, bukan inlander, adalah produk gagasan abad XX.

Jika sekarang mengemuka “politik identitas” entah apa makna dan kemana larinya. Terlalu praktis dan pragmatis rasanya dibandingkan dengan apa yang disuarakan Generasi 1908 dan 1928. Rasanya kita kembali ke perbincangan jauh sebelum gerakan “Wong Agung Mlati atau sebelum Indonesia kita sepakati sebagai identitas bersama yang mampu mengatasi sekat primordialisme.

Ideologi kemajuan yang coba digerakkan Wahidin, dilanjutkan Tjipto Mangunkusumo, Sutomo dkk di STOVIA Jakarta, melahirkan Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Sayangnya, ide itu harus pupus. Dalam Kongres I Budi Utomo pada 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta, mereka harus membentur dinding priayi. Di gedung Kweekschool (kini SMAN 11 Yogyakarta) Tjipto cs harus menerima kenyataan. Keluar dari Budi Utomo dan pergi ke Belanda. Kendali Budi Utomo aman dipegang kelompok priayi.

Justru di Belanda ide-ide pergerakan menemukan bentuknya melalui Indische Partij, membesar dalam Perhimpunan Indonesia, dan menemukan momen terbaik tahun 1925 saat mengeluarkan Manifesto Politik. Itulah saat nasionalisme terkonsep dengan matang dan menemukan formatnya. Tiga tahun kemudian digelar Ikrar Pemuda 1928 untuk lebih merinci nasionalisme, yakni menyangkit bangsa, tanah air dan bahasa.

Indonesia menuju seabad usianya pada 2045. Cukup banyak agenda kebangsaan yang perlu dievaluasi dan diletakkan pada rel yang telah disusun para pendiri bangsa. Kemajuan, sebagaimana modernitas, tak bisa dielakkan. Tetapi falsafah dan kepribadian bangsa, tentu tak boleh dilupakan apalagi diabaikan jika tak ingin dikenang sebagai bangsa yang mengidap amnesia. Jika awal abad XX saja para intelektual kita mampu berdiri sama tinggi dengan para pemikir dunia dalam mendiskusikan nation, masa kita puas hanya menjadi penonton? Jika Wahidin yang seorang bangsawan saja total dalam mendukung regenerasi, masa kita bersikukuh menutup pintu zaman? Semoga menjadi renungan dan kesadaran bersama.

Ksatrian Sendaren, 20 Mei 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles