30.4 C
Indonesia
Minggu, Mei 12, 2024
spot_img

KORPRI, Ambtenaar dan Cermin Retak Kekuasaan

Oleh: Wahjudi Djaja

Pada zaman kolonial, pegawai negeri itu dikenal dengan istilah ambtenaar. Merujuk pada kelas bangsawan dengan status sosial yang tinggi di masing-masing level. Profilenya, biasanya berjas putih, memakai topi helm keras, sering menggunakan moda kendaraan sepeda saat pergi atau pulang kerja saat rakyat masih jalan atau naik gerobak. Loyalitas mereka jangan ditanya. Total bekerja demi dan atas nama kepentingan pemerintah kolonial Belanda.

Urusan fasilitas, mereka–para bangsawan itu–mendapatkan previlage dari pemerintah. Ada sekolah yang sengaja dibuka untuk keluarga bangsawan. Bacalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam tahun 1992. Budayawan yang dikenal sebagai Pak Ageng itu berhasil memotret ambtenaar dengan pendekatan sosiologis. Peran priyayi mampu melintasi zaman baik era penjajahan maupun kemerdekaan. Mereka bisa menjembatani atau tepatnya meneruskan kepentingan penguasa dalam berhadapan dengan rakyat jelata. Perannya yang luwes dalam mengikuti dinamika kekuasaan, “sabar” dalam menapaki perubahan, serta lihai dalam memainkan kepentingan status quo, menjadikan mereka (justru) menjadi kekuatan sosial tersendiri.

Itulah kenapa, menjadi ambtenaar menjadi impian siapa saja, termasuk priyayi cilik di pedesaan. Tak aneh jika penguasa selalu membidik posisi mereka. Simbiosis mutualisme. Di satu sisi mereka mengabdi pada kepentingan penguasa, di sisi lain mereka menikmati previlege sebagai bangsawan. Jika kedudukan mereka merata hampir di semua lini dan level, bukankah mudah untuk mengendalikan–tepatnya mengooptasi–mereka?

Pada 29 Nopember 1971 Soeharto–pengusa Orde Baru yang lihai menata kekuasaan sejak 1966–mengeluarkan Keppres Nomor 82 Tahun 1971, tentang pembentukan wadah untuk seluruh pegawai Republik Indonesia. Bisa ditebak–bersama ABRI dan Golkar–Korpri dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan Orba. Inilah mesin politik paling dahsyat rezim Soeharto. Bangun kekuasaan Soeharto pun mapan dan terbebas dari elan vital Orde Baru yang mendasari kekuasaannya. Secara cerdas Soeharto pelan tapi pasti menyusun kekuatan dan struktur kekuasaan.

Gerakan Reformasi 1998 yang niat awalnya untuk mengikis praktik feodalisme–yang kita tahu menjadi sarang KKN–ternyata kesulitan menempatkan konteks. Makin kesini, kekuasaan yang bertengger di atas kursi kepemimpinan, cenderung mengulangi sejarah. Memobilisasi Korpri untuk menjaga dan melanggengkan kekuasaan, baik di pusat maupun daerah. Dengan kewenangan dan pengaruh, para bupati, walikota, gubernur sampai presiden menempatkan Korpri sebagai kepanjangan tangan kekuasaannya.

Hari-hari ini kita sedang menyongsong pemilu dan pilpres 2024. Mulai terdengar upaya politisasi dan mobilisasi terhadap ASN dan Korpri. Terdengarlah Pakta Integritas sampai mobilisasi kepala desa dan beragam iuran untuk pemenangan calon. Fasilitas negara pun tak luput dijadikan sasaran. Kadang bertanya, untuk apa kita merdeka jika hanya bisa mengulangi kesalahan yang sama?

Ksatrian Sendaren, 29 November 2023

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles