24.4 C
Indonesia
Sabtu, Mei 11, 2024
spot_img

Arief Budiman: Konflik dan Peperangan Adalah Kesempatan Aktualisasikan Diri

Oleh: Wahjudi Djaja*

23 April 2020 pukul 11.40 WIB intelektual terkemuka, cendekiawan berintegritas, aktivis pergerakan yang bernyali, telah pergi selamanya. Alumni Fakultas Psikologi UI yang lahir pada 3 Januari 1941 dengan nama Soe Hok Djien, kita kenal sebagai kakak kandung tokoh muda inspiratif, Soe Hok Gie. Berdaya jelajah tetapi tetap sederhana dan artikulatif dalam memberikan sumbangan pemikiran bagi tumbuh kembang ilmu sosial, demokrasi dan HAM di Indonesia.

Nurani Sebagai Teman

Saat banyak tokoh nasional protes atas pemberian Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Tour–tokoh Lekra yang menghantamnya hingga melahirkan Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963–dengan yakin Arief menolak. Meski pernah menjadi korban Pram di era 1960-an, Arief tetap jernih dalam membaca hubungan individu dalam bingkai hak asasi manusia, demokrasi dan kemanusiaan (Kompas, 14/8/1995):

Menghadapi perlakuan yang tidak adil ini, saya hanya bisa berjanji kepada diri saya bahwa kalau suatu kali saya berkuasa, saya tidak akan menindas kebebasan orang lain. Ketika itu, saya ingat Wiratmo Sukito pernah berkata, seorang intelektual adalah seorang yang tidak mendendam kalau ditindas, dan tidak menindas kalau berkuasa. Kata-kata ini masuk ke dalam sanubari saya.

Dalam pengantar buku Tirani dan Benteng, Taufiq Ismail menyebut ada tiga prinsip yang diperjuangkan. Pertama, kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kedua, dalam melaksanakan kebudayaan nasional diusahakan mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat bangsa. Ketiga, penegasan bahwa falsafah kebudayaan kelompok ini adalah Pancasila.

Keberpihakan yang dilandasi nalar sehat dan hati nurani, lalu diikuti dengan integritas dan komitmen, begitu jernih terbaca dari alasan beliau. Sejak mahasiswa telah menjadi aktivis, kritis saat menjadi dosen dan menjaga jarak dengan kekuasaan–bahkan menjadikannyan sparing partner–menjadi bagian dari karakter pribadinya. Arief adalah sosok panutan dan teladan bagi banyak aktivis muda di negeri ini. Dalam beragam lingkaran diskusi atau demonstrasi, Arief adalah magnet dengan daya sedot yang luar biasa.

Saat banyak teman demonstran terkooptasi ke dalam kekuasaan awal Orde Baru, Arief bergeming. Dia tidak saja tetap vokal tetapi juga berani–meski sendirian–menghadang laju Orde Baru yang dilihatnya mulai menyimpang. Tak aneh para mahasiswa mengirimkan kado bedak gincu kepada anggota DPR sebagai sindiran kepada mereka yang bertopeng dan tak punya malu.

Proyek ambisius Taman Mini Indonesia Indah tak luput dari bidikannya. Selain mendeteksi gejala mulai cawe-cawenya keluarga Cendana, hal itu dipandangnya sebagai pemborosan hingga muncul Gerakan Penghematan (Gepeng). Bersama Mochtar Lubis, WS Rendra, HJC Princen, Arief bersama elemen pergerakan mahasiswa menentang pembangunan TMII. Akibatnya, Arief dan beberapa tokoh ditangkap dan ditahan.

Arief Budiman adalah otak dibalik munculnya Golongan Putih (Golput) menjelang Pemilu 1971. Sebuah gerakan moral yang sampai kini selalu muncul tatkala kita menyambut hajatan demokrasi. Sebuah kesadaran politik bahwa parpol yang tak lebih kepanjangan tangan penguasa sehingga terlalu sayang bagi kita untuk memberikan suara.

Saat Kongres Kebudayaan 1991, pemikiran Arief menjadi tema hangat diskusi (Kompas, 1/11/1991):
Tumbuhnya kapitalisme ini mempengaruhi perkembangan kesenian di Indonesia. Bentuk seni yang paling berkembang sekarang adalah musik pop karena musik inilah yang digandrungi oleh masyarakat kelas menengah ke atas, yakni mereka yang memiliki daya beli paling kuat. Bukan suatu hal yang kebetulan bahwa musik ini banyak didominasi para penyanyi perempuan cantik yang seksi.

Arief mengakui belum ada sistem yang sedang berjalan di dunia ini yang dapat dipakai sebagai sistem alternatif bagi kapitalisme. Yang ada baru usaha-usaha kecil seperti reformasi dalam konsep welfare state.

Pemikir Sastra

Begitulah. Secara cair dan mengalir Arief bisa membedah teori dan memasukkan ke dalam berbagai tulisan. Arief adalah idola, termasuk saya. Selain Sartono Kartodirdjo, Umar Kayam, Kuntowijoyo, artikelnya di berbagai koran saya kliping sejak kuliah. Beberapa kali sempat bertemu di ruang diskusi, yang paling berkesan adalah saat diskusi buku “Tirani dan Benteng” karya Taufiq Ismail di Hatta Foundation dekat IAIN Suka tahun 1993. Dalam beberapa hal Arief berbeda sikap dengan Taufiq sebagai sesama aktivis ’66, tetapi jiwa besar dan pemahamannya akan nilai-nilai demokrasi mengalahkan egonya. Arief sempat membaca salah satu puisi dalam buku itu, dan meneteskan air mata!

Taufiq jujur mengakui, andai tidak ada Soe Hok Djien (Arief Budiman) kumpulan sajak Tirani dan Benteng tak akan pernah terbit (Bernas, 16/1/1993):
Kalau saja waktu itu Soe Hok Djin tidak bersikeras minta puisi-puisi untuk diterbitkan dan saya tidak memberikannya, kini saya hanya dapat bercerita kepada anak cucu bahwa saya pada masa-masa demonstrasi menentang Orde Lama pernah menulis sajak.

Naluri dokumentasi sastra Arief memang tajam dan fokus. Tema-tema yang sering diangkat menjadi diskusi dan pembicaraan beragam kalangan. Dalam Merdeka (14/7/1984), Arief mengungkap masalah aliran Estetisme yang dinilainya angkuh karena merasa menyampaikan sesuatu yang “tinggi”:
Dalam kesusastraan Indonesia ada semacam dominasi pemikiran yang sangat mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia. Dominasi itu disebut aliran Estetisme. Kesulitan terjadi dalam mewujudkan konsep yang sangat luas secara nyata. Kalau estetika dinilai sebagai kekuatan yang bisa merangsang daya haru, apakah daya haru seseorang untuk segala lapisan masyarakat itu sama? Kenyataannya sastra modern kita berpaling ke Barat dan mencari ukuran-ukuran nilai estetika disana. Sastra seperti ini adalah sastra kota, sastra terpencil, yang hanya dinikmati kurang dari 15 persen bangsa kita.

Untuk itulah Arief Budiman kemudian melontarkan gagasan tentang Sastra Kontekstual. Sebuah pandangan yang melihat sastra yang tidak lagi mengakui keuniversalan nilai-nilai kesusastraan. Arief hanya mengakui adanya nilai-nilai sastra yang terikat oleh ruang dan waktu. Gagasannya ini kemudian menjadi polemik dan diskusi dalam waktu yang lama.

Soal Kalah Menang Dalam Hidup

Menjadi demonstran sejak mahasiswa sampai tua, seolah menggambarkan sosok Arief yang keras dan tegas serta pantang menyerah. Pandangan itu tak sepenuhnya salah. Taufiq Ismail banyak bercerita tentang kelucuan dan daya juang temannya itu. Kepada Kompas (30/10/1994) Arief panjang lebar mengungkap makna kalah menang dalam hidup, termasuk diantaranya kenapa dia dipecat dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga hingga pindah ke Australia:

Saya mencoba melihat kekalahan saya sebagai humor saja, tak terlalu serius. Kalah tak apa-apalah. Sehingga, meskipun dalam pertempuran saya kalah, saya tak pernah menyerah, karena saya anggap perang itu sesuatu yang abadi. Perang itu bukan pertempuran. Pertempuran hanyalah bagian-bagian dari perang. Kalau ditanya soal capek, saya pun capek, tapi sekali lagi, saya lihat saja kegagalan saya sebagai humor. Dalam konflik saya bisa mengaktualisasikan pemilihan mana yang benar mana yang salah. Kalau semuanya adem ayem kan aktualisasi diri saya kurang.

Tunduk hormat untuk kepergian cendekiawan teladan dalam laku dan pergerakan. Salah satu pilar utama saat kita bicara peranan kaum intelektual saat vis a vis dengan kekuasaan. Boleh jadi itu kerinduan kita. Kerinduan melihat kaum intelektual teguh pendirian dan berdiri kukuh dalam memimpin peperangan saat kabut kekuasaan menyergap dari berbagai penjuru.

Semoga damai bahagia di keabadian, Bung Arief. Senang dan bangga bisa membacamu meski dalam keterbatasan ilmu.

Ksatrian Sendaren, 23 April 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!

SOSMED MABUR.CO

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Latest Articles